Mataram Lombok Barat,NTB
KOMPAS86.COM – Kasus kredit motor bermasalah yang menyeret Muzakki sebagai tersangka di Lombok Barat menuai kritik tajam. Dari perspektif hukum fidusia, langkah penyidik dan sikap kejaksaan yang menerima begitu saja pelimpahan perkara ini dinilai janggal dan berpotensi melanggar asas keadilan.
Praktisi hukum Usep Syarif Hidayat, SH, yang akrab disapa Akang Usep, menegaskan bahwa dalam hukum jaminan fidusia, sebagaimana diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, perjanjian fidusia hanya lahir antara debitur dan kreditur. Dalam perkara ini, debitur adalah Muhamad Rifki Wijaya beserta istrinya, sementara krediturnya adalah PT Federal International Finance (FIF).
“Objek fidusia berupa sepeda motor Honda PCX 160 itu tetap milik kreditur selama kewajiban kredit belum lunas. Artinya, pihak yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana fidusia hanyalah debitur, bukan pihak ketiga. Tidak ada istilah fidusia kedua dalam hukum kita,” tegas Akang Usep.
Fakta persidangan menyebutkan Muzakki membeli motor tersebut melalui perantara dengan kelengkapan STNK dan menyerahkan uang Rp10 juta. Dari sisi hukum, Muzakki adalah pembeli pihak ketiga yang mungkin lalai memeriksa status BPKB, tetapi hal itu tidak serta-merta dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP) atau penadahan (Pasal 480 KUHP).
Menurut Akang Usep, justru ada pihak lain yang lebih tepat dimintai pertanggungjawaban hukum, yakni:
Ri (debitur) → mengalihkan objek fidusia tanpa izin kreditur, melanggar Pasal 23 jo. Pasal 36 UU Fidusia.
Ji dan Ik (perantara) → menerima uang langsung dari Muzakki, berperan aktif dalam transaksi.
Jl (penerima gadai) → menguasai motor tanpa dasar hukum yang sah.
“Sayangnya, hanya Muzakki yang dijadikan tersangka, sementara aktor utama justru tidak tersentuh hukum. Ini jelas bentuk tebang pilih dalam penyidikan,” ujar Akang Usep menegaskan.
Sebagai pengendali perkara (dominus litis), jaksa memiliki kewenangan untuk menilai kelengkapan berkas sebelum menerima pelimpahan dari penyidik. Namun dalam kasus ini, jaksa tetap melanjutkan perkara meski terdapat kelemahan formil dan materil.
“Sesuai asas praduga tak bersalah dan due process of law, jaksa seharusnya cermat. Jika sejak awal penyidikan cacat karena hanya mengorbankan satu pihak sementara pelaku utama dibiarkan bebas, maka jaksa harusnya menolak atau mengembalikan berkas itu,” tegas Akang Usep.
Ia menilai, meneruskan perkara yang lemah hanya akan memperburuk citra penegakan hukum sekaligus mengorbankan rasa keadilan masyarakat.
Akang Usep menegaskan, penegakan hukum bukan sekadar mencari siapa yang paling mudah dijadikan tersangka. “Hukum harus ditegakkan dengan adil, objektif, dan menyeluruh agar semua pihak yang terlibat mendapat perlakuan yang sama di depan hukum,” katanya.
Dalam kasus ini, Muzakki jelas bukan aktor utama. Menjeratnya tanpa melibatkan Ri, Ji, Ik, maupun Jl, sama saja dengan membalik logika hukum. Jika praktik seperti ini dibiarkan, masyarakat akan semakin apatis dan kehilangan kepercayaan pada proses hukum.
“Fidusia hanya ada satu, dan yang bertanggung jawab adalah debitur yang melanggar perjanjian fidusia dengan kreditur. Tidak ada dasar hukum untuk mempidanakan pihak ketiga sebagai pelaku utama. Kejaksaan harus berani bersikap, menolak berkas yang cacat hukum, dan meminta penyidik memproses semua pihak yang benar-benar terlibat. Hanya dengan cara itu, keadilan dapat ditegakkan dan hukum kembali dipercaya masyarakat,” tutup Akang Usep.
jurnalis : Thomas
Editor: Redaksi| Kompas86