Ketika Tambang Laut Ilegal Kranggan, Tembelok dan Teluk Inggris, Mengkhianati Undang-undang Dan Perda

banner 468x60

Laporan: Belvan Alakhab dan tim

Mentok, Bangka Barat (Babel) , kompas86.com , Selasa (14/10)2024) – pagi di Mentok tidak lagi sunyi. Ketika ombak datang membawa kabar dari arah barat laut, yang terdengar bukan lagi debur air, melainkan suara mesin yang menggigil di perut laut.

Di antara perahu nelayan yang kian jarang, muncul dalam ufuk lautan, lebih angkuh, lebih rakus yaitu ponton.
Besi-besi yang diberi nama seolah lembaga, tapi sejatinya tak terdaftar di hati hukum.

Di pesisir Kranggan, Tembelok, hingga Teluk Inggris, masyarakat hidup berdampingan dengan ironi, laut yang dulu jadi dapur, kini berubah menjadi ladang tambang.
Di atas permukaannya, hukum bergoyang seperti ombak. Keras di teks, tapi lunak di lapangan.

Secara hukum, wilayah laut tempat ponton itu beroperasi tidak boleh disentuh oleh alat isap timah.
Hal itu tertulis jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Pasal-pasalnya tegas bahwa zona perikanan tangkap diperuntukkan bagi nelayan tradisional, bukan bagi mesin-mesin penyedot dasar laut.

Namun hukum itu, kata nelayan tua bernama M. Hadi, “Cuma kuat di kertas, lemah di laut.”
Ia tersenyum getir ketika mengatakan itu, sambil menatap laut yang dulu ia panggil “ibu”.
Kini ibu itu dipaksa melahirkan pasir hitam yang tak lagi memberi kehidupan.

“Kalau jaring kami sobek, kami perbaiki,” ujarnya lirih.
“Tapi kalau laut kami rusak, siapa yang bisa menjahitnya kembali?”

Kata-katanya seperti pasal baru yang seharusnya dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang yang kini dijadikan “dalih” baru untuk mengatur siapa boleh menggali bumi, dan siapa harus menyingkir darinya.

Dalam logika negara, UU 2/2025 berdiri megah sebagai hukum tertinggi soal tambang. Di dalamnya, negara mengatur wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan siapa saja yang berhak mendapat prioritas untuk menggali kekayaan alam.
Namun laut Bangka Barat, terutama Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris, seolah menjadi halaman belakang tempat pasal-pasal itu ditanam tanpa akar.

Hukum memang mengatur, tapi siapa yang menegakkan?
Di dalam undang-undang itu, tak ada pasal yang berbunyi: “Dilarang membiarkan aparat menutup mata.”
Maka muncullah oknum, kata paling lembut untuk menyebut mereka yang menukar suara mesin dengan bunyi uang logam.

Laporan Wartapublik.com (8 Oktober 2025) menulis pendek tapi tajam:

“Tambang Ilegal di Laut Keranggan Kembali Beroperasi, Diduga Ada Oknum Bermain.”

Kata “diduga” kini menjadi perisai moral.
Semua pihak aman di bawah naungannya.
Oknum tak punya nama, hukum tak punya arah, dan rakyat tak punya tempat bertanya.

Di meja birokrasi, laut bukan lagi air, akan tetapi ia berubah menjadi angka koordinat, zonasi, dan blok izin.
Peta RZWP3K Babel menyebut wilayah Mentok–Keranggan–Teluk Inggris sebagai Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Zona Alur Pelayaran, dan Zona Konservasi Mangrove.
Namun di darat, peta bisa disobek. Di laut, ia bisa ditenggelamkan.

Berdasarkan data SorotanBangka.com (16 September 2025) dan BabelNewsUpdate.com (16 September 2025), aktivitas ponton di Tembelok dan Teluk Inggris berlangsung hingga larut malam, tanpa pengawasan.
Nelayan harus menepi lebih jauh agar jaringnya tak tersangkut pada selang-selang tambang.
Lampu tambang berkerlip seperti bintang, tapi bagi nelayan, itu bintang buatan yang tak pernah memberi arah.

“Laut bukan lagi rumah kami,” kata seorang ibu di Keranggan, “tapi halaman orang lain yang berpagar izin.”

Dan pagar itu dibangun oleh pasal-pasal yang semestinya melindungi mereka.

Dalam UU 2/2025, negara menjamin bahwa kegiatan pertambangan harus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Namun di pesisir Mentok, yang tersisa justru perasaan ditinggalkan.

Anak-anak nelayan kini lebih mengenal suara ponton daripada suara ombak.
Di beberapa kampung, air sumur mulai asin, tanah mengeras karena limbah tambang yang terbawa arus.
Nelayan yang dulu melaut malam kini tidur lebih cepat, bukan karena lelah, tapi karena laut telah diambil alih oleh suara yang tak pernah diam.

Mereka tidak membenci tambang, mereka hanya tidak mengerti mengapa tambang harus hadir di ruang hidup mereka.
UU 2/2025 memang berbicara tentang izin, tapi tidak pernah mengajarkan empati.

Hukum yang Tak Mampu Tidur
Di ruang rapat Jakarta, pasal-pasal hukum berdiskusi dengan tenang.
Tapi di Kranggan, hukum tak bisa tidur.
Malam-malam di Teluk Inggris menjadi saksi bahwa peraturan nasional dan daerah bisa berseberangan tanpa tabrakan, karena keduanya tak pernah berjumpa di laut.

Hukum seharusnya menjadi mercusuar, tapi di Mentok, cahaya itu diredupkan oleh kabut tambang.

“Kami bukan menolak pembangunan,” kata seorang warga kepada Trasberita,
“kami hanya ingin laut ini tetap bisa memberi makan anak kami.”

Sebuah kalimat sederhana yang menelanjangi seluruh sistem hukum yang terlalu sibuk membangun jargon: zero mining, green economy, sustainable development.
Kata-kata yang terdengar megah, tapi tenggelam di bawah suara mesin diesel ponton.

Negara telah berbicara lewat UU 2/2025.
Daerah sudah berteriak lewat Perda RZWP3K.
Tapi laut tetap bergemuruh dalam bahasa yang tak lagi dimengerti hukum.

Di satu sisi, undang-undang mengatur agar pertambangan memberi manfaat bagi rakyat.
Di sisi lain, Perda memerintahkan agar laut dijaga bagi nelayan.
Dua instrumen hukum berdiri tegak tapi di bawahnya, rakyat terjepit seperti kepiting di antara batu karang dan jaring tambang.

Andai dasar laut bisa bicara, mungkin ia akan berkata begini:

“Aku tidak takut pada hukum, aku hanya takut pada diamnya manusia.”

Karena hukum di negeri ini kadang terlalu sibuk menulis pasal, tapi lupa mendengar nelayan.
Ponton-ponton itu bukan sekadar alat tambang, ia adalah cermin bahwa kita sedang menambang nurani.
Timah hanyalah logam, tapi kerakusan menjadikannya kutukan.

Hari ini, Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris bukan lagi nama lokasi di peta, melainkan bab dalam kisah kehilangan.
Lautnya keruh, pasirnya disedot, dan hukum dibiarkan terapung.
Namun dari segala luka itu, masih ada harapan:
bahwa suatu hari nanti, pasal-pasal di UU 2/2025 dan RZWP3K Babel tak lagi berhenti di kertas,
melainkan benar-benar menjadi pagar bagi kehidupan laut dan bagi mereka yang menggantungkan hidup darinya.

DAFTAR LITERATUR
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Wartapublik.com, “Tambang Ilegal di Laut Keranggan Kembali Beroperasi, Diduga Ada Oknum Bermain”, 8 Oktober 2025

SorotanBangka.com, “Selain Tembelok, Aktivitas Tambang Timah di Teluk Inggris Juga Masih Berlangsung”, 16 September 2025

BabelNewsUpdate.com, “Aktivitas Tambang Laut Teluk Inggris Masih Bebas Beroperasi di Malam Hari”, 16 September 2025

PenaBabel.com, “Satu Hamparan dan Satu Zona: Keranggan Beraktivitas Jadi Sorotan, Sedangkan Teluk Inggris Melanjutkan Perjuangan Menambang Tanpa Henti”

Mongabay Indonesia, “Diuji Komitmen Zero Tambang di Bangka Belitung”, 12 Maret 2023. (Tim/Red)

Pos terkait