Bukittinggi, KOMPAS86.com – Penutupan Stasiun Lambuang Kota Bukittinggi yang selama ini menjadi ikon pariwisata dan pusat kuliner tradisional, menjadi sorotan tajam berbagai pihak. Keputusan ini memunculkan pertanyaan besar mengenai kepemimpinan dan kemampuan pemerintahan Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, yang dianggap tidak mampu mengelola aset daerah dengan bijak.
Alasan yang dikemukakan pemerintah setempat adalah efisiensi anggaran. Namun, banyak pihak menilai langkah ini justru menunjukkan ketidakmampuan dalam merumuskan solusi yang kreatif dan berkelanjutan untuk mempertahankan ikon daerah. Penutupan Stasiun Lambuang ini juga dinilai akan berdampak signifikan terhadap pelaku usaha kecil yang menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata dan kuliner di kawasan tersebut.
Sejumlah warga dan pengamat menilai, dalih efisiensi anggaran hanyalah alasan untuk menutupi lemahnya manajemen pemerintahan. Alih-alih mencari alternatif pembiayaan atau mengoptimalkan pengelolaan, keputusan menutup justru mengorbankan kepentingan masyarakat dan mempersempit ruang ekonomi rakyat kecil.
Sebagai simbol keberagaman kuliner Minangkabau dan daya tarik wisata, tutupnya Stasiun Lambuang jelas menjadi tamparan bagi pemerintahan Wali Kota Ramlan. Kini masyarakat menantikan langkah konkret dari pemerintah untuk memperbaiki situasi dan memastikan keberlangsungan ekonomi masyarakat Bukittinggi yang semakin terpuruk.
Sumber dari dalam pemerintahan menyebutkan bahwa alasan utama penutupan Stasiun Lambuang berkaitan erat dengan kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat yang berdampak pada daerah. Namun, sebagian besar pengamat menilai bahwa hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran penuh, mengingat pemerintah daerah memiliki ruang fiskal dan kreatifitas dalam mengelola sumber daya lokal untuk menopang kebutuhan masyarakat.
Dalih efisiensi anggaran pusat dinilai oleh sebagian pihak hanya menjadi tameng untuk menutupi lemahnya komunikasi dan koordinasi pemerintah kota dengan pemerintah pusat dalam menjaga aset budaya dan ekonomi lokal. Banyak daerah lain yang juga terkena dampak kebijakan serupa, namun tetap mampu mempertahankan destinasi wisata dan ruang publik dengan inovasi dan sinergi bersama masyarakat.
Langkah penutupan ini juga memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah kota terlalu bergantung pada anggaran dari pusat tanpa memaksimalkan potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan keterlibatan sektor swasta. Ketergantungan semacam ini hanya akan menimbulkan efek domino yang berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola aset dan mendukung perekonomian rakyat.
Kini masyarakat dan pelaku usaha menunggu sikap tegas dan konkret dari Wali Kota Ramlan dalam merespons kegelisahan ini. Mungkinkah pemerintah kota akan mencari terobosan baru yang lebih berpihak pada rakyat? Atau justru penutupan Stasiun Lambuang hanya menjadi permulaan dari kemunduran destinasi wisata dan pusat ekonomi Bukittinggi yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Barat?
(*)