Ternyata Tidak Hanya di Pati Pajak Naik, di Kabupaten Agam Sudah Dahulu Naik, Tetapi Masyarakatnya Bungkam

banner 468x60

Agam, KOMPAS86.com– Kabar kenaikan pajak daerah yang belakangan menjadi perbincangan hangat di Kabupaten Pati ternyata bukanlah hal baru di wilayah lain. Berdasarkan penelusuran, di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, kebijakan serupa bahkan sudah lebih dahulu diberlakukan. Namun, berbeda dengan Pati yang ramai diperbincangkan, di Agam masyarakat memilih diam tanpa banyak protes.

Kenaikan pajak di Agam mencakup berbagai sektor, mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak usaha, hingga retribusi pelayanan publik tertentu. Kebijakan ini diberlakukan sejak akhir tahun lalu, seiring dengan penyesuaian Peraturan Daerah (Perda) yang mengacu pada Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Pemerintah daerah beralasan, langkah ini diambil untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Meski begitu, kenaikan pajak di Agam nyatanya tidak menimbulkan gelombang penolakan besar. Warga, terutama pelaku usaha kecil, mengaku terkejut saat pertama kali mengetahui adanya perubahan tarif pajak. Namun, mayoritas memilih untuk patuh dan tidak menyuarakan keberatan secara terbuka, dengan alasan takut berurusan dengan pihak berwenang.

Di kutip dari pengakuan warga diskusi salah satu WA Group, menyebutkan”untuk informasi. di Agam PBB naik ribuan persen , di Pati hanyo 250 persen di protes Bupatinyo, di demo…

PBB tanah urang gaek ambo dari NJOP Rp.14.000, manjadi Rp.537.000,-/m2. Naik 3.735 % (ribuan persen.), Ambo protes  jo Surek resmi ka Kepala Badan Pendapatan Daerah Agam dan diturunkan manjadi Rp.128.000,- tetap juo naiak 914 % hampia 1.000 %, Sado PBB naiak NJOP nyo, ado dari 14.000 naiak menjadi 82.000 (871 %)” ungkapnya

Salah satu pedagang di Pasar Lubuk Basung yang enggan disebutkan namanya mengaku, kenaikan pajak memang terasa memberatkan, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok yang terus naik. “Mau bagaimana lagi? Kalau protes, takutnya malah dianggap melawan kebijakan. Jadi ya dibayar saja,” ujarnya dengan nada pasrah.

Pengamat kebijakan publik, Andi Syafrizal, menilai fenomena ini menarik. Menurutnya, diamnya masyarakat Agam bisa disebabkan oleh budaya lokal yang cenderung mengedepankan harmoni dan menghindari konflik terbuka. “Ini berbeda dengan di Pati, di mana warganya lebih terbuka dalam menyampaikan keberatan. Faktor budaya dan pengalaman sejarah bisa memengaruhi respons masyarakat,” jelasnya.

Meski relatif tenang di permukaan, sejumlah aktivis lokal mengingatkan bahwa diamnya warga bukan berarti mereka setuju sepenuhnya. Mereka menilai, kondisi ini bisa menjadi “bom waktu” jika keluhan masyarakat terus menumpuk tanpa adanya evaluasi kebijakan. “Kita perlu wadah aspirasi yang aman, agar warga bisa menyampaikan pendapat tanpa takut,”

Kenaikan pajak daerah adalah tren yang tidak hanya terjadi di satu wilayah. Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah siap mengelola dampak sosial dari kebijakan ini, atau justru memilih menunggu reaksi publik sebelum melakukan penyesuaian?

(*)

Pos terkait