*Pencemaran Nama Baik: Ketika Negara dan Korporasi Harus Belajar Tahan Diri* 

banner 468x60

Humas MA, Jakarta _ Sabtu,25 Oktober 2025

KOMPAS86.COM – Di tengah relasi kuasa yang timpang, banyak kalangan menilai bahwa penggunaan pasal ini sering menjadi alat pembungkam, bukan perlindungan hak.

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh putusan penting dari pengadilan yang menyatakan bahwa pemerintah dan korporasi tidak dapat mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap individu. 

Putusan ini langsung menjadi buah bibir. Banyak yang menyambutnya sebagai langkah maju dalam melindungi kebebasan berekspresi di ruang publik, terutama bagi masyarakat yang kerap merasa dibungkam oleh kuasa besar.

Fenomena ini muncul seiring semakin maraknya kritik dan ekspresi di media sosial. Warga menyuarakan keluhan atau kekecewaan, namun justru dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik. 

Di tengah relasi kuasa yang timpang, banyak kalangan menilai bahwa penggunaan pasal ini sering menjadi alat pembungkam, bukan perlindungan hak yang proporsional.

Secara hukum, dasar perlindungan kebebasan berekspresi dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Sementara itu, Pasal 310 dan 311 KUHP memang mengatur soal pencemaran nama baik. Namun, ketika pemerintah atau badan hukum besar menggunakannya terhadap warga biasa, muncul pertanyaan: apakah ini seimbang dan adil?

Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan memiliki peran penting dalam memberi tafsir dan arah perlindungan hukum yang berpihak pada keadilan substantif. 

Begitu pula para hakim di tingkat bawah yang memeriksa perkara serupa, dituntut untuk lebih peka terhadap konteks relasi kuasa dan dampak sosial dari putusannya.

Putusan ini dapat menjadi titik balik untuk menegaskan bahwa hukum tak boleh digunakan sebagai alat tekanan, apalagi oleh pihak yang memiliki sumber daya lebih besar. 

Hukum harus memberi ruang aman bagi kritik yang konstruktif dan keluhan yang wajar. Kritik bukan kejahatan.

Ke depan, perlu ada penguatan regulasi maupun pedoman etis agar gugatan pencemaran nama baik tidak disalahgunakan. Edukasi hukum kepada masyarakat juga penting, agar warga paham hak dan batasannya dalam menyampaikan pendapat. 

Di sisi lain, aparatur pemerintah dan korporasi juga didorong untuk membuka diri terhadap kritik sebagai bagian dari demokrasi.

Dengan demikian, hukum bisa menjadi jembatan dialog, bukan tembok pemisah antara suara rakyat dan mereka yang berkuasa.

 

Penulis: Nur Amalia Abbas

Jurnalis : Thomas

Editor:Red|Kompas86.com

Pos terkait