Jakarta, Humas MA_Kamis,16 Oktober 2025
KOMPAS86.COM_Kemandirian peradilan kini diuji bukan hanya oleh intervensi kekuasaan, melainkan oleh arus informasi dan disinformasi yang bergerak lebih cepat daripada proses hukum itu sendiri.
Menggagas Unit Intelijen Mahkamah Agung
Gagasan tentang perlunya unit intelijen di Mahkamah Agung pertama kali diperkenalkan oleh Akhmad Bangun Sujiwo dalam artikelnya berjudul “Menggagas Unit Intelijen Mahkamah Agung” yang terbit di laman resmi marinews.mahkamahagung.go.id pada 30 September 2025.
Tulisan tersebut menjadi pemantik intelektual bagi diskursus baru di tubuh peradilan, yaitu tentang bagaimana Mahkamah Agung perlu membangun kemampuan deteksi dini terhadap ancaman, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam lembaga sebagai bentuk kemandirian strategis.
Akhmad Bangun Sujiwo menegaskan, selama ini Mahkamah Agung sering bergantung pada informasi dari lembaga lain seperti kepolisian, kejaksaan, atau instansi pemerintah lainnya.
Ketergantungan itu, dalam pandangannya, berpotensi melemahkan independensi peradilan, sebab informasi strategis yang menyangkut keamanan hakim, pelaksanaan eksekusi, maupun risiko kelembagaan tidak selalu sepenuhnya berada dalam kendali Mahkamah Agung sendiri.
Ia mengajukan satu gagasan sederhana, namun visioner, pembentukan unit intelijen internal yang berfungsi mendukung pelaksanaan putusan, mengamankan aparatur peradilan, membantu pengawasan internal, serta menjaga integritas lembaga dari ancaman non-yudisial.
Tulisan Akhmad Bangun Sujiwo bersifat konseptual dan reflektif. Ia membuka ruang berpikir baru, intelijen di tubuh Mahkamah Agung tidak harus dipahami secara militeristik atau represif, melainkan sebagai “indra kewaspadaan” kelembagaan.
Dari titik inilah Penulis memiliki gagasan dan pengembangan lebih lanjut dalam tulisan berjudul “Menjaga Marwah Peradilan: Mengapa Mahkamah Agung Perlu Memiliki Badan Intelijen Sendiri”.
Keadilan yang Terancam oleh Zaman
Pada era digital, ancaman terhadap peradilan tidak selalu datang dari ruang sidang.
Ia bisa muncul dari ruang maya, dari opini masyarakat yang memutarbalikkan fakta, dari serangan siber yang membocorkan data perkara, hingga dari tekanan sosial yang menyudutkan hakim sebelum palu diketuk kan.
Kemandirian peradilan kini diuji bukan hanya oleh intervensi kekuasaan, melainkan oleh arus informasi dan disinformasi yang bergerak lebih cepat daripada proses hukum itu sendiri.
Mahkamah Agung sebagai benteng tertinggi keadilan harus menyadari bahwa mempertahankan integritas dan marwah lembaga tidak lagi cukup dengan regulasi dan etika, tetapi juga dengan kesiapsiagaan strategis.
Peradilan yang kuat adalah peradilan yang bukan hanya mampu memutus perkara, tetapi juga mampu membaca bahaya sebelum keadilan itu terguncang.
Kemandirian Saja Tidak Cukup
Kemandirian hakim adalah syarat mutlak bagi tegaknya keadilan.
Namun, kemandirian tanpa perlindungan intelijen adalah kemandirian yang rentan.
Ketika data perkara diretas, reputasi hakim dihancurkan oleh kabar palsu, atau tekanan sosial membentuk opini publik yang salah, maka independensi yang dijaga bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan jam.
Disinilah urgensi pembentukan Badan Intelijen Mahkamah Agung (BIMA) menemukan relevansinya. Badan ini bukan alat kekuasaan, bukan pula lembaga pengintai, melainkan penjaga marwah dan integritas lembaga peradilan.
Fungsinya jelas membaca arah ancaman, mendeteksi risiko terhadap hakim dan institusi, mengantisipasi serangan siber, serta menjaga wibawa lembaga dari distorsi publik yang bisa mencederai keadilan.
Realitas Ancaman terhadap Hakim dan Lembaga Peradilan
Mahkamah Agung sendiri telah berulang kali menegaskan bahwa ancaman nyata terhadap hakim memang ada dan semakin kompleks.
Sekretaris Mahkamah Agung, Sugiyanto, S.H., M.H. menyatakan, aksi kekerasan terhadap hakim kerap terjadi di gedung peradilan dan bahwa sistem perlindungan bagi hakim masih belum optimal baik di lingkungan kantor maupun di luar rumah dinas.
Pernyataan ini, menggambarkan persoalan keamanan peradilan bukan sekadar isu insidental, melainkan kebutuhan kelembagaan yang mendesak.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan, Mahkamah Agung telah membangun sistem keamanan dasar, akses pintu tunggal, pengawasan CCTV, jalur evakuasi, hingga alarm darurat.
Namun, langkah ini masih bersifat reaktif merespons ancaman yang sudah terjadi, bukan mendeteksinya sebelum membahayakan. Disinilah fungsi intelijen yudisial harus hadir fungsi preventif dan prediktif.
Beberapa peristiwa tragis yang menegaskan urgensi itu, antara lain:
1.Pembakaran Kantor Pengadilan Negeri Maumere (2006), oleh massa yang menolak eksekusi mati, peristiwa ini menunjukkan, amarah publik dapat dengan cepat berubah menjadi kekerasan terhadap simbol keadilan.
2.Pembunuhan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo (2023), usai menjatuhkan putusan gono-gini. Peristiwa ini menegaskan ancaman terhadap nyawa hakim bisa terjadi di jantung peradilan sendiri.
3.Kasus kematian Hakim Pengadilan Negeri Medan (2019), yang ditemukan meninggal secara tragis di mobilnya, membuka mata publik bahwa ancaman terhadap hakim tidak selalu bersifat spontan, tetapi bisa terencana.
4.Penusukan Hakim Pengadilan Agama Batam (2024), memperlihatkan bagaimana aparatur peradilan kini menjadi target nyata di luar ruang sidang.
Peristiwa-peristiwa ini memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap aparat peradilan, dan betapa pentingnya sistem deteksi dini berbasis intelijen yudisial agar keadilan tidak padam oleh kekerasan.
Sinergi dengan Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
Pembentukan Badan Intelijen Mahkamah Agung tidak boleh berdiri terpisah dari sistem yang telah ada.
Sebaliknya, ia harus menjadi bagian dari ekosistem pengawasan yang tersistem yang terintegrasi dengan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Selama ini, Bawas MA berperan melakukan pengawasan internal, pemeriksaan dugaan pelanggaran, serta pembinaan integritas aparatur peradilan.
Sementara itu, Komisi Yudisial berperan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sekaligus menjadi jembatan partisipasi publik dalam menjaga integritas peradilan.
Namun, sebagian besar peran Bawas MA bersifat reaktif dan post-factum, baru bertindak setelah pelanggaran terjadi.
Disinilah Badan Intelijen Mahkamah Agung akan berperan melengkapi dan memperkuat fungsi Bawas MA dengan pendekatan intelijen preventif.
Sinergi ketiganya dapat dibangun dalam empat dimensi strategis sebagai berikut:
1. Deteksi Dini Integritas dan Ancaman
Badan Intelijen Mahkamah Agung menyediakan informasi awal tentang potensi pelanggaran etik, ancaman terhadap hakim, atau gejala disinformasi publik yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Data strategis ini, menjadi masukan penting bagi Bawas MA untuk menentukan prioritas pengawasan dan pembinaan internal.
Sementara itu, Komisi Yudisial dapat memanfaatkan hasil deteksi tersebut untuk memperkuat fungsi eksternal penjagaan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Melalui pertukaran informasi secara terukur, Badan Intelijen Mahkamah Agung mendeteksi, Bawas menindaklanjuti secara administratif, dan KY mengawal dari sisi etik publik. Sinergi ini memastikan tidak ada celah antara pengawasan internal dan eksternal dalam menjaga integritas peradilan
2. Koordinasi Analisis Risiko
Melalui kerja bersama antara analis intelijen, auditor pengawasan, dan pemantau etik, Mahkamah Agung dapat menyusun Judicial Risk Mapping, peta risiko kelembagaan yang mencakup keamanan fisik, reputasi, digital, dan sosial.
Dalam tahap ini, Badan Intelijen Mahkamah Agung berperan mengidentifikasi ancaman strategis, Bawas mengkaji risiko kelembagaan dari sisi operasional, dan Komisi Yudisial memberikan perspektif publik serta risiko reputasi hakim di mata masyarakat.
Dengan begitu, peta risiko yang dihasilkan tidak hanya menggambarkan ancaman terhadap sistem, tetapi juga terhadap kepercayaan publik yang menjadi pondasi moral peradilan.
3. Pengamanan Informasi dan Kerahasiaan Perkara
Badan Intelijen Mahkamah Agung dapat bekerja sama dengan Bawas MA untuk memastikan keamanan siber dan perlindungan data perkara, mencegah kebocoran informasi yang dapat mencederai prinsip fair trial.
Sementara, Komisi Yudisial berperan memastikan, sistem pengamanan tetap selaras dengan prinsip transparansi publik yang sehat. Perlindungan data tidak berubah menjadi penghalang akuntabilitas.
Dengan mekanisme koordinasi tiga arah ini, keamanan informasi tetap kuat tanpa mengorbankan keterbukaan dan kepercayaan publik terhadap peradilan.
4. Penguatan Etika dan Marwah Peradilan
Informasi intelijen yang diolah secara etis dapat digunakan untuk memperkuat pembinaan integritas hakim dan pegawai peradilan, sehingga setiap tindakan pencegahan berakar pada nilai moral, bukan kekuasaan.
Dalam hal ini, Badan Intelijen Mahkamah Agung berperan memberikan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran etik, Bawas MA menindaklanjuti dalam bentuk pembinaan dan klarifikasi internal.
Sedangkan Komisi Yudisial menjadi mitra etis yang menjaga keseimbangan antara penegakan disiplin dan perlindungan martabat hakim.
Dengan sinergi ini, sistem pengawasan Mahkamah Agung tidak lagi berjalan parsial, tetapi menjadi satu ekosistem pengawasan peradilan yang terintegrasi antara pengawasan normatif, deteksi strategis, dan penjagaan etik publik.
Dalam ekosistem tersebut, Bawas MA tetap menjadi “mata etik” internal yang menegakkan disiplin dan tata kelola lembaga.
Sedangkan Badan Intelijen Mahkamah Agung berperan sebagai “indra kewaspadaan” yang membaca tanda-tanda ancaman terhadap integritas dan keamanan kelembagaan sebelum bahaya itu muncul.
Sementara itu, Komisi Yudisial hadir sebagai “penjaga moral eksternal” yang memastikan setiap langkah pengawasan dan deteksi tetap sejalan dengan prinsip kehormatan, transparansi, dan kepercayaan publik.
Kerja sama tripartit antara Badan Intelijen Mahkamah Agung, Badan Pengawasan Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial ini akan memperkuat Judicial Risk Mapping, peta risiko kelembagaan.
Hal ini mencakup keamanan fisik, reputasi, digital, dan sosial serta menciptakan ekosistem peradilan yang adaptif, terlindungi, dan berintegritas.
Sinergi ini menegaskan, menjaga marwah peradilan bukan hanya tugas satu lembaga, tetapi komitmen bersama seluruh pilar penjaga keadilan untuk memastikan peradilan Indonesia tetap tangguh, bersih, dan dipercaya rakyat.
Intelijen sebagai Benteng Moral ,”Dalam banyak hal, istilah intelijen sering menimbulkan kesalahpahaman. Padahal, dalam konteks peradilan, fungsi intelijen justru bersifat moral dan etis bukan represif.
Ia tidak dimaksudkan untuk mengawasi, tetapi untuk melindungi. Berikut adalah fungsi dari intelijen peradilan, yang bekerja seperti sistem imun bagi tubuh lembaga:
1.mendeteksi potensi pelanggaran integritas sejak dini,
2.melindungi hakim dari ancaman fisik, digital, dan sosial,
3.memonitor disinformasi yang bisa menodai marwah lembaga, dan
memberi rekomendasi strategis untuk menjaga kepercayaan publik.
Dengan cara tersebut, Mahkamah Agung memastikan, integritas bukan hanya nilai yang diucapkan, tetapi sistem yang dijaga.
Pelajaran dari Dunia,”Banyak negara maju telah lebih dahulu menyadari pentingnya fungsi intelijen dalam sistem peradilan.
Di Amerika Serikat, Judicial Security Division, aktif melindungi hakim federal dari ancaman dan memonitor keamanan informasi.
Di Inggris, Judicial Office Security and Information Risk Unit, menganalisis risiko reputasi lembaga di tengah disrupsi digital.
Praktik-praktik ini membuktikan, intelijen bukan instrumen kekuasaan. Tetapi, tanda kedewasaan peradilan modern.
Keadilan yang modern bukan hanya tegak di atas norma, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan zaman.
Bekerja dalam Bingkai Etika dan Transparansi Agar fungsi intelijen tidak disalahartikan, ia harus beroperasi dalam rambu etik dan tata kelola yang ketat.
Beberapa prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi antara lain:
1.Etika dan transparansi internal, setiap aktivitas harus dapat diaudit secara moral dan administratif;
2.Batas fungsi yang jelas, tidak mencampuri proses yudisial dan substansi putusan;
3.Perlindungan data dan privasi tunduk pada regulasi nasional;
4.Akuntabilitas kelembagaan hasil analisis dilaporkan secara berjenjang kepada pimpinan Mahkamah Agung.
Dengan prinsip ini, intelijen peradilan akan menjadi alat penjaga martabat, bukan alat kekuasaan.
Menatap Masa Depan Peradilan Indonesia membutuhkan peradilan yang bukan hanya berwibawa secara hukum, tetapi juga tangguh secara kelembagaan dan bermartabat secara moral.
Pembentukan Badan Intelijen Mahkamah Agung yang terintegrasi dengan Badan Pengawasan akan menjadi tonggak penting menuju mewujudkan visi Mahkamah Agung, yaitu Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.
Visi ini, menjadi landasan bagi Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga peradilan tertinggi untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Keadilan masa depan, bukan lagi sekadar soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi, mengenai seberapa siap lembaga peradilan menjaga dirinya dari segala bentuk serangan terhadap kebenaran.
Mahkamah Agung adalah simbol keadilan, dan keadilan adalah cahaya. Namun, di zaman yang gelap oleh informasi yang sesat dan tekanan digital, cahaya itu perlu dijaga agar tidak padam.
Penulis: Derry Yusuf Hendriana
Jurnalis: Thomas
Editor: Redaksi KOMPAS86.COM