Bukittinggi, KOMPAS86.com
Masyarakat hukum adat Kurai (Suku asli warga Bukittinggi) diwakili Parik Paga Nagari Kurai menuntut penyelesaian segera bekas tanah konsolidasi By Pass Ipuah, Kota Bukittinggi yang sudah bermasalah sejak tahun 1992.
Dalam usaha tuntutannya, Parik Paga mendirikan plang berukuran besar bertuliskan ” Dilarang Memasuki Area Ini, Tanah Ini Milik Kaum Pasukuan Pisang Sabuah Gadang Datuak Rajo Mulia, tertanda Datuak Rangkayo Basa dan Datuak Mantari Basa”.
Ketua Harian Parik Paga Nagari Kurai, Taufik Datuak Nan Laweh, Jumat (9/8) di lokasi mengatakan, ” Dengan adanya pemasangan tanda ini di harapkan Pemerintah Kota dapat segera menyelesaikan sangketa tanah ini, karena sudah 32 Tahun tidak ada kejelasannya, kita tunggu sampai dua minggu ini respon dari Pemko Bukittinggi” ujarnya
Sementara itu, Penghulu Suku Pisang, Mawardi Datuak Rangkayo Basa mengungkap ada kesan pemerintah kota tidak berupaya menyelesaikan konflik selama 32 tahun ini.
“Kami sudah surati Wali Kota, temui pejabat lainnya tapi belum ada hasil. Untuk menghindari konflik antara sesama anak kemenakan, kami tuntut Pemkot Bukittinggi segera menyelesaikan dan lokasi disterilkan sementara dari aktivitas pembangunan baru,” kata Mawardi Datuak Rangkayo Basa.
Ia menjelaskan perihal awal kasus terjadi sejak Proyek Jalan Bukittinggi By Pass melalui Surat Perjanjian Kesepakatan Antara Pemerintah Daerah Tingkat II Bukittinggi (Pihak Pertama: Walikota Armedi Agus) dengan Pemilik Tanah Yang Terkena Proyek Jalan Bukittinggi By Pass (Pihak Kedua: Sdri Elida) melalui Sistim Konsolidasi pada 1992.
Akibat status tanah bersengketa antara Elida, Ajas St. Sinaro, Tk. Rajo Mulia, dan Marteti sehingga terbitlah Keputusan Walikota Bukittinggi Nomor 188.45-196-2002 Tanggal 14 Oktober 2002 tentang Penetapan Areal Konsolidasi di Kelurahan Campago Ipuh sebagai Areal Yang Tidak Dilakukan Penataan Kembali yang artinya status tanah konsolidasi sudah dikembalikan ke tanah adat.
“Di 2022 pihak Elida (85) sudah memiliki Alas Hak yang secara adat sudah dinyatakan Sah oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Mandiangin Kota Bukittinggi (REG No. 15/KAN/MDN/IX-2022). Proses Sertifikat terkendala karena tanah pusako tinggi telah berisi bangunan liar oleh Saudara Tanin sejak tahun 2009, ini yang kemudian menjadi masalah,” kata Datuak Rangkayo Basa.
“Oleh karena itu, kami bersama Datuak Mantari Basa selaku Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang Sabuah Gadang Datuak Radjo Mulia berkewenangan mengurus Kemenakan Datuak Radjo sesuai arahan Niniak Mamak Pucuak Bulek. Dan menuntut hadirnya Pemerintah Kota Bukittinggi ikut serta menuntaskan persoalan yang sudah berlarut-larut ini,” katanya.
Ia mengungkap konflik memuncak saat Soni (Dt. Panduko Marah dari Tilatang) mendirikan bengkel besi di tanah yang belum jelas penyelesaiannya tersebut.
“Kami melihat sudah ada teguran diberikan oleh Camat Mandiangin Koto Selayan dan pihak Elida, namun Soni tidak mau mundur karena terlanjur membayar sewa tanah Rp 37,5 juta kepada pihak Saudara Tanin Almarhum ,” kata dia.
Ia mengungkap di 2010, Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang alm Dt. Radjo ke-IV dan Mamak Kepala Waris alm Dt. Saidi Radjo pernah melapor ke Polresta Bukittinggi tentang tindak pidana penggarapan dan pengrusakan tanah pusako tinggi tanpa izin menggunakan excavator serta melakukan pembangunan liar.
“Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruangpun sudah memberikan Surat Peringatan Ke-I (SP-I) Nomor 600:77/GP/SP-11DPU-PR-TR/2020 disusul dengan Surat Peringatan Ke-II (SP-II) Nomor 600:36/GP/SP-II/DPU-PR-TR/2020, sampai saat ini Izin atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) belum diterbitkan,” pungkasnya.
(*)