Kalau kotor bilang kotor, jangan ditutupi. Kalau dia kasih somasi, kita kasih Soto makan pakai nasi

banner 468x60

KOMPAS86.com – Dalam masyarakat yang sehat, kebenaran harus berdiri tegak tanpa takut pada ancaman atau tekanan. Pepatah kontemporer yang tengah beredar di kalangan warga, “Kalau kotor bilang kotor, jangan ditutupi”, menjadi simbol perlawanan terhadap budaya bungkam. Masyarakat berhak tahu fakta apa adanya, tanpa lapisan manis yang menutupi kebusukan di dalamnya.

Kalimat ini lahir dari keresahan akan fenomena tutup-menutup masalah. Banyak pihak yang memilih menghaluskan kata atau bahkan menutupi fakta demi menjaga citra. Padahal, menutupi kotoran hanya akan membuat baunya makin menyengat. Kejujuran adalah fondasi yang harus dijaga, bahkan ketika kenyataan terasa pahit.

Bagian kedua dari ungkapan tersebut, “Kalau dia kasih somasi, kita kasih Soto makan pakai nasi”, terdengar seperti sindiran pedas sekaligus tantangan terbuka. Ini bukan soal kekerasan, melainkan simbol bahwa intimidasi hukum tak akan mematikan suara rakyat. Alih-alih gentar, mereka memilih merespons dengan kreativitas dan keteguhan.

Fenomena somasi kepada pengkritik bukanlah hal baru. Di berbagai kasus, pihak yang dikritik kerap mengirimkan surat peringatan hukum untuk membungkam lawan bicaranya. Langkah ini sering kali dipandang sebagai bentuk pembatasan kebebasan berpendapat, terutama jika digunakan untuk menutupi kesalahan yang seharusnya diakui.

Opini publik jelas menunjukkan bahwa masyarakat sudah semakin cerdas menilai. Mereka dapat membedakan antara kritik membangun dan fitnah. Menyerang kritik yang faktual dengan somasi justru akan memperburuk citra pihak yang disomasi. Rakyat kini tahu, diam bukan berarti setuju, dan bicara bukan berarti melawan hukum.

Ungkapan “Soto makan pakai nasi” memang terdengar jenaka, namun di balik humor itu terdapat pesan serius: jangan takut. Tekanan, baik secara hukum maupun sosial, seharusnya tidak mematikan keberanian menyuarakan kebenaran. Keberanian itu perlu dipelihara seperti nasi yang memberi tenaga.

Kebebasan berbicara adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa itu, masyarakat akan hidup dalam bayang-bayang manipulasi informasi. Mengungkapkan kebenaran, walau tidak menyenangkan bagi sebagian pihak, adalah wujud tanggung jawab moral. Menutupinya sama saja membiarkan ketidakadilan terus berlanjut.

Namun, kebebasan ini juga perlu diimbangi dengan tanggung jawab. Kritik harus disampaikan dengan bukti dan argumentasi yang kuat. Dengan demikian, tidak ada celah bagi pihak yang dikritik untuk membalikkan isu dan menuduh penyebaran informasi palsu.

Dalam konteks ini, kalimat sindiran tersebut menjadi slogan perjuangan. Ia bukan sekadar kata-kata, tetapi cerminan tekad untuk tidak tunduk pada intimidasi. Rakyat menginginkan transparansi, dan mereka berhak mendapatkannya tanpa dibungkam oleh ancaman hukum yang tidak pada tempatnya.

Akhirnya, pesan yang ingin disampaikan sederhana: jika ada kesalahan, akui dan perbaiki. Menutupi hanya akan memperbesar masalah. Dan jika ada pihak yang mencoba membungkam kebenaran, selalu akan ada mereka yang siap menyuapi keberanian dengan “nasi”—energi untuk terus bersuara. Karena di negeri ini, kotor tetaplah kotor, dan kebenaran tak seharusnya dikubur di balik surat somasi.

(*)

Pos terkait