Dibungkam oleh Rasa, Bukan Kinerja: Realita Pahit PNS di Bawah Sistem ‘Suka atau Tidak Suka

banner 468x60

Bukittinggi, KOMPAS86.com – Dalam banyak instansi pemerintahan, sistem kerja sering kali diwarnai oleh dinamika personal antara pimpinan dan pegawai nya. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan adalah sistem “suka atau tidak suka,” di mana keputusan pimpinan lebih dipengaruhi oleh pilihan pribadi daripada penilaian objektif terhadap kompetensi pegawai nya. Fenomena ini tidak hanya merusak profesionalisme, tetapi juga berdampak buruk pada pelayanan publik yang menjadi tujuan utama instansi pemerintahan tersebut

Psikolog M. Alfi menyoroti bahwa secara psikologis, sistem ini menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat. “Sebagai pimpinan, seharusnya dia mampu bersikap adil dan merata,” tegasnya. Dalam konteks pemerintahan, keadilan ini adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap pegawai memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi sesuai kapasitasnya.

Namun, realitasnya sering kali jauh dari harapan. Pimpinan yang menganut sistem “suka atau tidak suka” cenderung memprioritaskan pegawai yang disukainya dan mengesampingkan yang lain, meskipun yang disukai belum tentu lebih kompeten. “Padahal, bisa saja pegawai yang tidak disukai justru memiliki potensi besar untuk memberikan dampak positif pada pencapaian target instansi,” tambah Alfi.

Sistem ini memiliki dampak serius yang tidak bisa diabaikan, terutama di instansi pemerintahan. Pertama, sistem ini menciptakan ketidakadilan yang merusak semangat kerja pegawai. Pegawai yang merasa diperlakukan tidak adil cenderung kehilangan motivasi untuk bekerja optimal. Akibatnya, kualitas pelayanan publik menurun.

Kedua, fenomena ini membuka ruang bagi budaya kerja yang tidak sehat, seperti menjilat dan mencari muka di depan pimpinan. Alfi menjelaskan bahwa karyawan yang merasa harus mendapatkan perhatian pimpinan dengan cara-cara ini akan mengabaikan tanggung jawab utamanya. Bahkan, situasi ini dapat memicu konflik internal, seperti adu domba atau persaingan tidak sehat antarpegawai.

“Pimpinan yang tidak mampu bersikap netral akan sulit mengayomi dan kehilangan kepercayaan dari bawahannya,” ujarnya. Dalam instansi pemerintahan, hal ini sangat berbahaya karena dapat menghambat pencapaian target organisasi, seperti program-program pelayanan masyarakat yang membutuhkan kerja sama dan komitmen tinggi dari seluruh pegawai tempat dimana ia pimpin

Alfi menegaskan pentingnya introspeksi bagi pimpinan instansi pemerintahan yang menganut sistem ini. Jika ada hal yang tidak disukai dari seorang pegawai, langkah yang lebih bijak adalah melakukan komunikasi secara personal, bukan menunjukkan ketidaksukaan secara terang-terangan. Sikap ini tidak hanya menjaga hubungan baik, tetapi juga menunjukkan kedewasaan seorang pemimpin.

“Apabila terus-menerus mengedepankan sistem suka atau tidak suka, dirinya tentu belum bisa menjadi sosok pemimpin yang baik bagi instansi yang dipimpinnya,” ungkapnya. Seorang pimpinan dalam instansi pemerintahan dituntut untuk bersikap profesional, mengayomi semua pegawai, dan menempatkan kepentingan publik di atas preferensi pribadi nya

Untuk menciptakan budaya kerja yang sehat dan profesional di instansi pemerintahan, penting untuk menghilangkan praktik sistem ini. Kriteria seperti masa kerja, usia, dan pendidikan formal tidak selalu menjadi indikator kepemimpinan yang efektif. Sebaliknya, kemampuan untuk bersikap netral, adil, dan berorientasi pada tujuan bersama adalah kualitas utama yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Sistem “suka atau tidak suka” hanya akan membawa instansi pemerintahan ke arah stagnasi dan konflik internal. Jika dibiarkan, ini bukan hanya mencoreng profesionalisme birokrasi, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap pemerintah. Oleh karena itu, sudah saatnya fenomena ini diakhiri demi mewujudkan lingkungan kerja yang lebih adil, harmonis, dan berorientasi pada pelayanan terhadap masyarakat.

( Roni )

Pos terkait