Kepri – Kompas86.com__, (10.07.2025) Drama panjang mengenai nasib ratusan guru dan tenaga honorer di Kabupaten Bintan memasuki babak baru yang cukup mengejutkan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan yang digelar pada hari Kamis, 10 Juli 2025, pukul 09.00 WIB, Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan secara resmi menyampaikan keputusan untuk menerapkan sistem outsourcing bagi 152 guru dan tenaga honorer yang datanya sebelumnya telah dihapus dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
RDP yang dilaksanakan di Ruang Rapat Komisi III DPRD Bintan ini dihadiri oleh jajaran penting dari eksekutif, termasuk Kepala Dinas Pendidikan, perwakilan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), perwakilan Inspektorat Daerah, serta para Kepala Sekolah SD dan SMP. Yang paling krusial, RDP ini juga mempertemukan para pengambil keputusan dengan perwakilan langsung dari tenaga honorer guru dan tenaga kependidikan yang terdampak kebijakan penghapusan Dapodik.
Kronologi dan Dasar Penghapusan Dapodik
Sebelumnya, polemik mencuat setelah Kepala Dinas Pendidikan Bintan Nafriyon, menginstruksikan penghapusan 152 nama guru dan tenaga honorer dari Dapodik. Kebijakan ini menuai protes keras karena dinilai dilakukan secara sepihak, tanpa sosialisasi memadai, dan tanpa persetujuan dari para guru yang bersangkutan.
Yang menjadi titik balik dan memicu perdebatan adalah pengumuman Dinas Pendidikan Bintan mengenai penerapan sistem outsourcing. Langkah ini diambil sebagai jalan tengah untuk tetap mempertahankan keberadaan tenaga pengajar dan kependidikan yang diperlukan di lapangan, namun tanpa membebani anggaran daerah secara langsung dan sesuai dengan interpretasi dinas terhadap aturan penataan non-ASN.
Salah seorang honorer mengaku kecewa persoalan 152 guru yang dihapus dari dapodik dialihkan menjadi tenaga guru outsourcing.
Implikasi dari sistem outsourcing bagi guru sangatlah besar. Mereka berpotensi kehilangan perlindungan hukum sebagai tenaga pendidik yang diakui negara, rentan terhadap fluktuasi upah, dan kehilangan akses pada berbagai program pengembangan profesi serta tunjangan yang melekat pada status ASN atau yang terdaftar resmi di Dapodik. Selain itu, profesi guru sebagai profesi mulia yang membutuhkan stabilitas dan jaminan karir, terancam direduksi menjadi sekadar pekerjaan temporer yang diikat kontrak dengan perusahaan pihak ketiga.
Menyikapi keputusan ini, Ketua DPRD Kabupaten Bintan, Hj. Fiven Sundari, S.I.P., menyampaikan bahwa pihak legislatif mencatat serius usulan dari Dinas Pendidikan ini. “Kami memahami kekecewaan para guru honorer. Keputusan penerapan sistem outsourcing ini adalah hal yang kompleks dan tentu memerlukan kajian mendalam dari berbagai aspek. Bukan hanya implikasi hukum dan anggaran, tetapi juga dampaknya terhadap kualitas pendidikan, motivasi guru, serta kesejahteraan mereka,” tutur Fiven.
DPRD Bintan menegaskan komitmennya untuk tidak tinggal diam. Pihaknya berjanji akan terus mengawal permasalahan ini dan menuntut transparansi lebih lanjut dari Dinas Pendidikan Bintan terkait mekanisme, pemilihan perusahaan outsourcing, serta jaminan yang akan diberikan kepada para guru.
Kasus di Bintan ini kembali menyoroti kompleksitas penataan tenaga non-ASN di Indonesia, yang kerap kali menimbulkan dilema antara kebutuhan riil di lapangan, ketersediaan anggaran, dan peraturan yang berlaku. Solusi jangka panjang yang adil dan berpihak pada kesejahteraan guru honorer yang telah lama mengabdi masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah pusat dan daerah.
(Martin)