Saling Tuding DPRD & Pemda KKT Soal SPPD Fiktif, Ibarat Maling Teriak Maling.

banner 468x60

Saumlaki (Tanimbar) KOMPAS86.com
Kasus SPPD fiktif alias palsu yang dimainkan oleh Kepala BPKAD kepulauan Tanimbar Jonas Batlayeri (JB) dan mantan Bupati Petrus Fatlolon (PF) adalah kejahatan terstruktur untuk merampok keuangan negara pada masa dunia dilanda covid 19.

Hal itu terlihat pada fakta persidangan Senin, (4/12/2023) yang dipimpin Haris Tewa dimana kesaksian Riki Jawerissa (wakil ketua 2) DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), menceriterakan peran Petrus Fatlolon (mantan bupati) periode 2017 – 2022 dalam pengelolaan APBD tahun 2020 teritama anggaran SPPD yang diusulkan 9 milyar yang oleh DPRD (Banggar) dianggap tidak rasional yang kemudian disetujui hanya Rp. 1,5 milyar.

Dari situlah PF sebagai penguasa waktu itu, secara nyata dan meyakinkan memainkan peran sebagai sutradara untuk dapat memuluskan rencana jahat demi merampok uang negara dengan memanggil khusus anggota banggar DPRD KKT dengan menawarkan jasa bagi mereka yang akhirnya menyetujui SPPD pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sebesar Rp.9milyar yang akhirnya merugikan negara Rp. 6,682 milyar.

Berdasarkan pengakuan Jawerissa pada persidangan tersebut tergambar bahwa DPRD dan Pemda dalam hal ini PF sebagai Bupati sama sama mendapat keuntungan dalam pengelolaan SPPD Fiktif alias palsu demi meraup keuntungan pribadi yang akhirnya menyeret 6 pejabat BPKAD sebagai terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) SPPD Fiktif yang kini lagi trend dan menjadi perhatian publik saat ini.

Kendati 14 anggota DPRD KKT yang dihadirkan dalam persidangan dengan tegas mengatakan tidak perna menerima aliran uang haram tersebut, namun terdakwa Jonas Batlayeri (kepala BPKAD) dan Maria Gorety Batlayeri (sekretaris BPKAD) secara terang benderang mengakui kalau aliran uang haram tersebut telah dinikmati oleh mereka (DPR – red) secara bervariasi. Dengan demikian walaupun dalam fakta sidang 14 anggota DPRD menyangkal tidak perna menerima aliran dana tersebut maka dapat diartikan bahwa antara DPRD dan Pemda sama-sama berperan ibarat maling teriak maling.

Sementara itu, salah satu sumber yang meminta namanya tidak dipublikasikan mengatakan bahwa, berdasarkan pengakuan Jawerssa yang mengatakan DPRD hanya menyetujui Rp. 1,5 milyar, mengapa tiba-tiba menyetujui Rp.9 milyar yang akhirnya menciptakan korupsi berjamaah yang mengakibatkan daerah ini berada pada kondisi miskin ekstrim nomor satu di Maluku bahjan telah mencoreng nama Tanimbar sebagai daerah terkorup dimata nasional, ungkap sumber tersebut.

# Mas Agus #

Pos terkait

Tinggalkan Balasan