Proyek Irigasi Rp195 Juta di Trasak Pamekasan Diduga Sarat Penyimpangan, HIPPA Satu Hati Disorot

banner 468x60

Pamekasan, kompaa86.com – Proyek Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) tahun 2025 di Desa Trasak, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura, menuai kecaman. Program senilai Rp195 juta yang bersumber dari APBN ini diduga dikerjakan asal-asalan, penuh kejanggalan, dan berpotensi merugikan petani maupun keuangan negara.

Hasil penelusuran di lapangan memperlihatkan bahwa tatanan batu pada saluran irigasi sepanjang 260 meter dipasang tanpa pondasi dasar, langsung di atas tanah, batu-batu itu terlihat hanya ditempel seadanya tanpa perekat yang memadai.

Kondisi ini tidak hanya bertentangan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB), tetapi juga melanggar standar konstruksi sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis (Juknis) P3-TGAI.

“Bangunan ini jelas tidak akan bertahan lama. Kalau musim hujan tiba, saluran bisa ambrol. Uang negara habis, tapi petani tidak dapat manfaat,” ujar seorang warga Trasak dengan nada kecewa.

Lebih tajam lagi, ada dugaan bahwa praktik penyamaran sempat dilakukan. Warga menduga, ada permainan dalam pemasangan tanda ukuran proyek yang tidak konsisten. “Kesan kami ini proyek hanya dijadikan formalitas, yang penting ada laporan selesai. Padahal kenyataannya, hasilnya sangat mengecewakan,” imbuh warga lain.

Berdasarkan dokumen resmi, pekerjaan tersebut dilaksanakan secara swakelola oleh Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) “Satu Hati”. Namun, hingga berita ini diturunkan, informasi mengenai siapa pelaksana teknis maupun pengawas lapangan masih minim, sehingga menyisakan tanda tanya besar di kalangan masyarakat.

Pemerhati kebijakan publik, Fauzi, menilai proyek semacam ini mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah.

“Dengan anggaran hampir Rp200 juta, seharusnya hasilnya kokoh dan bermanfaat bagi petani. Jika ditemukan pekerjaan asal-asalan, maka itu sudah indikasi penyimpangan. Aparat penegak hukum wajib turun tangan melakukan audit dan penindakan,” tegasnya.

Fauzi menambahkan, setiap proyek yang tidak sesuai aturan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan. “Kalau terbukti ada mark up atau laporan fiktif, maka jelas bisa masuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001,” ujarnya. Rabu (24/09)

Warga pun mendesak agar aparat tidak tinggal diam. “Kalau hanya masyarakat kecil yang salah, cepat sekali diproses hukum. Tapi kalau proyek seperti ini, kenapa diam? Jangan pilih kasih. Kalau memang ada dugaan korupsi, harus ditindak tegas,” tandas seorang tokoh desa.

 

Pos terkait