Pasal 17 UUPA 1960 Luput dari Cermatan Kementerian ATR/BPN dalam Rapat Koordinasi di Maluku Utara

banner 468x60

Kompas86.com – Ternate, 23 Agustus 2025 – Rapat koordinasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang digelar di Aula Hotel Sahid Bella, Ternate, Sabtu (23/8), menyisakan catatan kritis. Sejumlah isu pertanahan dan tata ruang dibahas, namun Pasal 17 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 mengenai batas penguasaan tanah dinilai luput dari perhatian serius kementerian.

Rapat tersebut dihadiri Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, Ketua Komisi II DPR RI, serta Gubernur Maluku Utara Sherly Djoanda Laos. Forum ini berlangsung di tengah meningkatnya konflik agraria di Halmahera, yang banyak dipicu oleh tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) dengan hak guna usaha (HGU).

Dalam sambutannya, Gubernur Sherly menyoroti rendahnya kepemilikan sertifikat tanah, khususnya di kalangan petani dan masyarakat adat. Ia menegaskan, masalah ini perlu menjadi prioritas penyelesaian agar masyarakat tidak terus-menerus terpinggirkan dari akses legal terhadap tanah.

Sementara itu, Kementerian ATR/BPN memaparkan sejumlah program fundamental, antara lain :

1. percepatan pelayanan sertifikat tanah di Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat,

2. penyelesaian sengketa tanah,

3. sertifikasi tanah adat yang masih banyak menuai keluhan,

4. penanganan tumpang tindih antara HGU dan IUP,

5. serta penyusunan detail tata ruang di tingkat kabupaten/kota.

Namun ketika ditanya awak media mengenai batas maksimal penggunaan lahan yang diatur Pasal 17 UUPA 1960, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyebut hal itu menjadi kewenangan Kementerian ESDM selaku pemberi izin tambang. Jawaban singkat ini menuai sorotan, sebab UUPA jelas mengatur batas maksimum dan minimum luas tanah agar tidak terjadi penumpukan kepemilikan, serta mewajibkan redistribusi tanah bagi rakyat yang belum memiliki lahan.

Konflik agraria di Maluku Utara sendiri kian kompleks. Alih fungsi lahan akibat ekspansi industri pertambangan dinilai mengancam ketahanan pangan, sementara penyelesaian hukum atas kasus korupsi izin tambang masih jalan di tempat. Publik pun menilai pemerintah pusat belum sepenuhnya menghadirkan solusi yang menyentuh akar persoalan.

Pengamat menilai, jika Pasal 17 UUPA terus diabaikan, maka akar konflik tanah di Maluku Utara tidak akan pernah selesai. Di satu sisi pemerintah daerah menyampaikan aspirasi masyarakat, namun di sisi lain regulasi pertanahan kerap tumpang tindih dengan kebijakan pertambangan nasional.

Rapat koordinasi ini diakhiri dengan komitmen memperkuat sinergi lintas sektor. Namun, publik masih menaruh tanda tanya: sejauh mana komitmen itu mampu menjawab problem mendasar agraria di Maluku Utara, yang sejak lama menjadi “misteri tanpa ujung penyelesaian”.

 

Jurnalis : Roslan S

Editor : Tim Peliputan Khusus

Penerbit : Kaperwil Maluku Utara

 

Pos terkait