Menjaga Netralitas Sorotan terhadap Dualisme Kepemimpinan KONI Lombok Tengah

banner 468x60

Lombok Tengah, NTB

Kompas86.comPolemik terkait rangkap jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lombok Tengah yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) semakin menjadi perhatian publik. Ketua DPC Pelopor Rakyat Bersatu (PRABU) Ntb, Desa Puyung Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah, H. Satria Utama, menyoroti potensi konflik kepentingan dan mempertanyakan transparansi dalam proses pemilihan kepemimpinan KONI.

Menurutnya, 37 cabang olahraga (Cabor) di Lombok Tengah telah berkomitmen mendukung Lalu Firman Wijaya sebagai Ketua KONI masa bakti 2025-2029. Namun, munculnya dualisme dalam kepemimpinan KONI, yang ditandai dengan dua kali pelaksanaan Musyawarah Olahraga Kabupaten (Musorkab), menimbulkan pertanyaan besar terkait proses demokratisasi dalam organisasi olahraga tersebut.

“Apakah ini murni keputusan independen, atau ada kepentingan politik di baliknya?” ujar Thomas, salah satu tokoh yang ikut mengawal isu ini yang beredar di beberapa media sosial, Minggu (27/03/2025).” 2.15 wita

Dugaan adanya intervensi politik semakin kuat dengan fakta bahwa Sekda saat ini masih aktif dalam pemerintahan tetapi juga menjabat sebagai Ketua KONI. Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional serta Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007 secara tegas menyatakan bahwa KONI sebagai organisasi independen tidak boleh dipimpin oleh pejabat pemerintahan aktif.

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, disebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) harus menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam organisasi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan daerah.

Banyak pihak mempertanyakan apakah tidak ada figur lain yang mampu memimpin KONI di Lombok Tengah selain seorang pejabat pemerintahan aktif. “Lombok Tengah memiliki banyak anak bangsa dengan kapasitas dan integritas yang mumpuni untuk memimpin KONI. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola organisasi olah raga ke depan,” tambah Thomas.

Dalam konteks demokrasi dan transparansi,Ketua DPC PRABU NTB menegaskan bahwa pejabat pemerintahan yang ingin menjabat sebagai Ketua KONI harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannya. Hal ini penting untuk menjaga profesionalisme dan menghindari adanya intervensi politik yang dapat mengganggu netralitas serta pengembangan olahraga di Lombok Tengah.

Kasus ini kini menjadi sorotan publik. Masyarakat menunggu langkah tegas dari pemerintah daerah, terutama Bupati Lombok Tengah, untuk menjelaskan dan menyikapi persoalan ini. Jika aturan dilanggar dan potensi konflik kepentingan terbukti, maka transparansi serta demokrasi dalam dunia olahraga bisa dipertaruhkan.

Apakah keputusan ini akan dikaji ulang, ataukah kepentingan politik akan lebih dominan dalam menentukan arah kebijakan olahraga di Lombok Tengah? Semua mata kini tertuju pada langkah berikutnya dari pemerintah daerah dan pihak terkait.”NN-01

 

Penulis; STIG

Pos terkait