Lombok Barat, NTB – 19 Maret 2025 | 01.32 WITA
Kompas86.com – Kasus dugaan pemotongan dana hasil jual beli tanah di So Toro Naru, Desa Tawali, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, terus menuai sorotan publik. Kepala Desa Tawali kini resmi ditetapkan sebagai tersangka setelah adanya laporan warga yang merasa dirugikan.
Furkan, SH, MH, sebagai pelapor, mengungkapkan bahwa banyak warga, termasuk mantan anggota DPR dari Partai Golkar, Saidin, mengalami kerugian akibat praktik pemotongan dana ini. Dugaan penyalahgunaan wewenang ini mencakup pemotongan sekitar Rp 15 – 30 juta per individu, dengan nilai tanah yang dijual warga berpariasi hingga Rp300 juta per bidang.
Menurut Saidin, dirinya sempat meminta agar pemotongan dihentikan, namun permintaan tersebut ditolak oleh kepala desa tanpa alasan yang jelas. Sejumlah warga lainnya juga mengalami nasib serupa, di mana mereka merasa terpaksa harus menyerahkan sebagian dari hasil penjualan tanah mereka tanpa dasar hukum yang jelas.
Kasus ini mencuat setelah beberapa warga melaporkan dugaan pemotongan dana ini ke pihak kepolisian. Berkas perkara sempat diajukan ke Kejaksaan Negeri, namun dikembalikan (P19) dengan alasan perlu perbaikan dokumen. Saat ini, setelah revisi dilakukan, berkas perkara masih menunggu status P21 untuk dapat dilanjutkan ke tahap persidangan.
Sebanyak 16 warga telah memberikan kesaksian, dengan didukung bukti-bukti kuat berupa:
Dokumen transaksi jual beli tanah.
Rekaman pengakuan korban.
Hasil investigasi mahasiswa.
Laporan awal kasus ini sempat ditangani oleh Polda NTB sebelum akhirnya dilimpahkan ke Polres Kabupaten Bima.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan luas, terutama terkait transparansi dan profesionalisme aparat penegak hukum. Warga menuntut agar Kejaksaan Negeri dan Kepolisian tidak tebang pilih dan menangani perkara ini secara adil.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemotongan dana secara sepihak tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) dan penyalahgunaan wewenang. Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara selama 4 hingga 20 tahun serta denda maksimal Rp 1 miliar.
Selain itu, Pasal 423 KUHP juga mengatur hukuman hingga 6 tahun penjara bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk memaksa pembayaran yang tidak sah.
Furkan menyayangkan lambannya proses hukum dalam kasus ini. “Dengan adanya dua alat bukti yang cukup, seharusnya perkara ini bisa segera diproses lebih lanjut. Jika tidak ada kejelasan, kami akan menempuh langkah hukum lain,” tegasnya.
Warga yang merasa dirugikan didorong untuk mengambil langkah hukum tambahan guna memastikan kasus ini tidak menguap begitu saja. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
1. Melaporkan ke Inspektorat Daerah untuk melakukan audit administrasi desa.
2. Mengajukan gugatan ke PTUN jika ada aturan desa yang dinilai tidak sah.
3. Melapor ke Ombudsman jika ada indikasi maladministrasi dalam penanganan kasus.
4. Melapor kembali ke Kepolisian atau Kejaksaan jika ditemukan indikasi pungli atau korupsi.
Hingga kini, warga Tawali Wera masih menunggu kepastian hukum dari Kejaksaan Negeri. Namun, jika tidak ada kejelasan dalam proses hukum, mereka siap membawa kasus ini ke Kejati NTB atau Kejari Mataram.
“Jika Polres dan Kejari tidak memberikan kepastian hukum, kami akan melaporkan kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi bersama beberapa media. Kami berharap agar kasus ini ditangani secara transparan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar bisa ditegakkan,” pungkas Furkan.” NN-01
(jurnalis/Thomas)