Kapolres Nabire Dinilai Keliru Soal Surat Izin Aksi, Massa Tuntut Penutupan PT Freeport

banner 468x60

Nabire, Papua Tengah – kompas86.com – Koordinator Umum aksi demonstrasi bertajuk “Tutup PT Freeport” yang digelar oleh Forum Independen Pelajar West Papua (FIP-WP), Pinius Maisini, membantah pernyataan Kapolres Nabire, AKBP Samuel D. Tatiratu, S.I.K., yang menyebutkan bahwa aksi tersebut tidak memiliki surat izin resmi.

Dalam aksi yang berlangsung di Pasar Karang, Senin (7/4/2025), Kapolres Tatiratu menyatakan bahwa pihaknya tidak mengizinkan massa melakukan long march menuju Kantor DPR Provinsi Papua Tengah. Alasan yang dikemukakan, menurut Kapolres, adalah surat pemberitahuan aksi yang dinilai terlambat serta tidak mencantumkan penanggung jawab dan estimasi jumlah massa.

“Karena tidak ada surat izin, dan aksi ini berpotensi menutup badan jalan hingga menimbulkan kemacetan, maka kami tidak izinkan long march,” ujar Kapolres saat bernegosiasi dengan massa aksi.

Namun, Pinius Maisini menilai pernyataan Kapolres tidak berdasar. Ia menegaskan bahwa surat pemberitahuan telah diserahkan ke Polres Nabire pada tanggal 5 April 2025 dan baru direspons keesokan harinya, Minggu (6/4/2025).

“Kami sudah sampaikan surat pemberitahuan, bukan surat permohonan izin, karena secara hukum aksi unjuk rasa cukup dengan pemberitahuan. Bahkan kami juga melampirkan surat kuasa hukum,” kata Maisini.

Lebih lanjut, ia menilai narasi Kapolres yang menyebut tidak adanya izin sebagai dalih untuk membatasi ruang demokrasi. Ia juga menyayangkan tindakan represif aparat saat aksi, termasuk adanya pembubaran, pemukulan, dan penangkapan terhadap sejumlah peserta.

Pendamping hukum aksi, Maria Kobepa, S.H., juga membantah alasan pembatasan aksi oleh pihak kepolisian. Menurutnya, tidak ada regulasi yang mengatur batas waktu penyerahan surat pemberitahuan ataupun jumlah minimal peserta aksi.

“Surat pemberitahuan bisa diserahkan H-1 atau bahkan di hari Minggu, tidak ada aturan yang melarang itu. Polisi justru wajib menerima dan menerbitkan Surat Tanda Terima (STT),” ujar Kobepa.

Ia menambahkan bahwa aksi yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 1 Ayat 24. Justru, menurutnya, kehadiran aparat bersenjata lengkap malah memberikan kesan intimidatif kepada masyarakat.

“Alasan polisi hari ini adalah bentuk pembenaran terhadap pembatasan ruang demokrasi. Ini inkonstitusional,” tegas Kobepa.

Redaksi

Pos terkait