Jakarta, Jum’at,22 Agustus 2025
Kompas86.com – Stoisisme memberi pelajaran agung, bahwa kekuatan sejati seorang hakim bukan terletak pada jabatannya, melainkan pada keteguhan hatinya.
Kehidupan peradilan tidak pernah steril dari tekanan. Godaan materi, bahkan ancaman fisik sering menguji kemurnian hati seorang hakim. Dalam situasi demikian, Stoisisme hadir sebagai filsafat yang menawarkan keteguhan, kemampuan menjaga diri tetap tenang, jernih, dan berpegang pada kebajikan di tengah badai cobaan.
Stoisisme mengajarkan bahwa hal-hal di luar kendali tidak boleh menguasai batin. Tekanan dari luar hanya menjadi kuat ketika jiwa memberi izin untuk dikuasai. Hakim yang berlandaskan sikap stoik akan menyadari bahwa kewajibannya bukanlah mengendalikan dunia, melainkan menguasai diri sendiri agar tetap berpijak pada keadilan.
Prinsip utama Stoisisme adalah membedakan antara yang dapat dikendalikan dan yang tidak. Godaan harta, bujuk rayu, atau ancaman tidak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi respon terhadapnya adalah wilayah kebebasan sejati. Hakim yang kokoh akan memilih kebajikan di atas keuntungan pribadi, sebab martabat jauh lebih tinggi dari sekadar kesenangan sesaat.
Keteguhan stoik bukan berarti kaku tanpa perasaan. Justru, ia adalah seni mengolah emosi agar tidak menjerumuskan. Rasa takut, marah, atau serakah dikendalikan dengan akal budi yang sehat. Hakim yang demikian akan mampu memutus perkara dengan kejernihan, bukan dengan emosi yang meledak-ledak atau kepentingan sesaat.
Stoisisme menumbuhkan daya tahan batin. Ketika tekanan datang, jiwa yang terlatih akan tetap tenang seperti batu karang yang tak tergoyahkan dihantam ombak. Putusan yang lahir dari keteguhan batin demikian akan memancarkan wibawa dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa keadilan tegak bukan karena keadaan mendukung, melainkan karena hati yang kukuh.
Dalam tradisi religius, keteguhan stoik menemukan gema yang sama. Kesabaran, keikhlasan, dan tawakal adalah nilai spiritual yang sejalan dengan Stoisisme. Hakim yang bersandar pada kebajikan dan menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Adil akan lebih mampu menolak godaan duniawi. Dengan demikian, keteguhan batin menjadi ibadah yang luhur.
Kekuatan stoisisme juga terletak pada kesadaran akan kefanaan. Kekuasaan, harta, dan pujian adalah hal yang sementara. Hakim yang menyadari kefanaan ini tidak akan mudah terperangkap oleh godaan, sebab yang dicari bukan keuntungan sesaat, melainkan keadilan abadi yang bernilai di hadapan manusia dan Tuhan.
Stoisisme juga mengajarkan kemandirian batin. Hakim yang teguh tidak menanti penghargaan dari luar untuk melakukan kebaikan. Ia sadar bahwa kebajikan adalah imbalannya sendiri. Putusan yang adil bukan untuk dipuji, tetapi karena adil adalah keindahan moral yang wajib ditegakkan.
Dengan sikap ini, hakim menjadi pribadi yang sulit digoyahkan. Suap tidak menggoda, ancaman tidak menakutkan, dan rayuan tidak memikat. Yang memimpin hatinya adalah kebajikan, bukan tekanan dari luar. Kekuatan batin inilah yang menjadikan peradilan sebagai benteng terakhir keadilan.
Masyarakat membutuhkan hakim yang mampu menghadapi badai dengan tenang. Ketika rakyat melihat bahwa putusan lahir dari jiwa yang kuat, maka kepercayaan kepada hukum akan tumbuh. Stoisisme bukan hanya melindungi hakim, tetapi juga membangun legitimasi hukum sebagai penopang keadilan sosial.
Hukum yang dijalankan dengan jiwa stoik akan lebih konsisten. Ia tidak berubah-ubah mengikuti tekanan politik atau kepentingan sesaat, melainkan berpijak pada prinsip. Konsistensi inilah yang menjadi dasar kokohnya keadilan, karena hukum tidak akan dihormati jika ia goyah di hadapan godaan.
Dengan demikian, stoisisme memberi pelajaran agung, bahwa kekuatan sejati seorang hakim bukan terletak pada jabatannya, melainkan pada keteguhan hatinya. Dengan jiwa yang kokoh, segala tekanan dan godaan dapat diatasi. Dari hati yang tabah itulah lahir putusan yang jernih, adil, dan bermartabat. Inilah wajah hukum yang diridhoi Ilahi. Yaitu hukum yang teguh, bijaksana, dan membawa kedamaian bagi semua
Thomas|M. Khusnul Khuluq
Sumber: Humas MA