Aceh Timur – Kompas86.com_,Jumat, 21 Maret 2025 – Anak piyatu—anak yang kehilangan ibu—sering kali luput dari perhatian dibandingkan dengan anak yatim yang lebih banyak menerima bantuan sosial. Kondisi ini mendapat sorotan dari pemerhati sosial dan aktivis hak asasi manusia, Razali alias Nyakli Maop, yang menilai adanya ketimpangan dalam penyaluran bantuan bagi anak-anak yang kehilangan ibunya.
Saat ditemui media di Kecamatan Darul Aman pada Kamis sore, Razali menegaskan bahwa anak piyatu memiliki hak yang sama sebagaimana diatur dalam undang-undang untuk mendapatkan bantuan dan perhatian. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak di antara mereka hidup dalam kondisi sulit akibat kehilangan sosok ibu sebagai pengasuh utama.
“Di Aceh Timur saja, ada lebih dari seratus anak piyatu yang seharusnya mendapatkan perhatian. Namun kenyataannya, mereka terabaikan. Bantuan sering kali hanya diberikan kepada anak yatim, sementara anak piyatu seolah tidak dianggap,” ujar Razali dengan nada kecewa.Lutfi: Potret Pilu Anak Piyatu yang Terlupakan
Salah satu kisah yang mencerminkan kondisi ini adalah Lutfi, seorang anak yang kehilangan ibunya dan kini diasuh oleh neneknya yang sudah lanjut usia. Sejak ibunya meninggal, ayah Lutfi menghilang tanpa kabar, meninggalkan anaknya tanpa kepastian masa depan. Sayangnya, meskipun hidup dalam keterbatasan, Lutfi tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah desa maupun kecamatan.
“Pendidikan mereka pun terancam. Tidak ada yang peduli. Bagaimana masa depan mereka? Sementara neneknya juga hidup dalam keterbatasan,” kata Razali.
Menurutnya, kasus seperti yang dialami Lutfi bukanlah satu-satunya. Banyak anak piyatu lainnya terpaksa bertahan hidup tanpa bimbingan orang tua dan tanpa dukungan yang memadai dari masyarakat maupun pemerintah.
Desakan untuk Pemerintah dan Dermawan
Razali mendesak pemerintah, para dermawan, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan anak piyatu. Ia menegaskan bahwa anak-anak ini berhak mendapatkan bantuan dan pendidikan yang layak agar tidak semakin terpuruk dalam kemiskinan dan keterasingan.
“Anak piyatu juga bagian dari generasi penerus. Kita harus memastikan mereka mendapatkan perhatian yang sama. Jika memungkinkan, berikan mereka bantuan yang layak,” tutur pria yang akrab disapa Nyakli Maop.
Fenomena ini menjadi catatan bagi pihak-pihak yang selama ini lebih memprioritaskan anak yatim dalam program bantuan sosial, sementara anak piyatu masih harus berjuang sendiri tanpa jaminan kehidupan yang layak.
Kini, harapan masyarakat tertuju pada pemerintah dan para dermawan. Apakah akan ada perubahan, atau anak-anak piyatu akan terus hidup dalam ketidakpedulian?
Rasyidin