Aceh Timur – Kompas86.com__,, 8 Mei 2025, Di balik sunyi suasana damai pasca-konflik, terdengar jeritan hati rakyat yang semakin kuat: “Kami ditinggalkan oleh wakil sendiri.” Kalimat ini disampaikan Razali, atau yang akrab disapa Nyakli Maop, seorang aktivis hak asasi manusia yang juga tergabung dalam tim investigasi Badan Advokasi Indonesia.
Di sebuah warung kopi kecil di Aceh Timur, Razali menyampaikan keresahannya dengan nada serius. Menurutnya, sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang diikuti lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, Aceh seharusnya berdiri tegak dengan otonomi yang luas. Namun kenyataannya, banyak hal yang justru mandek di tangan para pemegang kekuasaan.
“Dulu, orang-orang turun ke jalan dan mempertaruhkan nyawa untuk memperjuangkan hak Aceh mengatur diri sendiri. Tapi setelah damai diteken, justru perwakilan kita sendiri yang tidak peduli,” ungkap Razali.
Menurutnya, UUPA telah memberi kewenangan besar kepada Pemerintah Aceh, seperti pengelolaan pendidikan, pelabuhan, bandara, serta sumber daya alam. Salah satu contohnya adalah pelimpahan kewenangan terhadap pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN). Namun di lapangan, tak sedikit guru yang masih menjerit karena gaji tak sesuai, tunjangan yang tidak cair, dan fasilitas pendidikan yang memprihatinkan.
“Wewenangnya sudah dikasih, tapi tidak dikelola serius. Rakyat tetap susah, guru tetap menangis,” kata Razali dengan nada getir.
Ia menambahkan, seharusnya DPR Aceh menjadi lembaga yang menjaga agar pelaksanaan kewenangan itu tepat sasaran dan berpihak kepada rakyat. Namun justru yang terlihat adalah kebisuan dan kesibukan politik yang jauh dari realitas kehidupan masyarakat.
“Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik narasi damai dan otonomi jika substansinya tak pernah dijalankan. Anggota dewan seharusnya turun ke desa, mendengar langsung suara masyarakat, bukan hanya rapat di ruangan ber-AC,” tegasnya.
Razali juga menyoroti pengelolaan pelabuhan ekspor-impor dan bandara yang menurutnya belum memberikan dampak signifikan bagi perekonomian rakyat kecil. Akses dan distribusi ekonomi masih dikuasai segelintir pihak, sementara pelaku UMKM, petani, dan nelayan tetap berjalan sendiri dengan keterbatasan.
“Yang ekspor siapa? Yang menikmati siapa? Rakyat hanya jadi penonton, padahal kita sudah punya hak untuk mengatur,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini bisa menjadi bom waktu. Ketika kepercayaan rakyat terus melemah terhadap lembaga legislatif, potensi apatisme hingga konflik sosial bisa muncul kembali. “Rakyat Aceh itu sabar, tapi bukan berarti mereka tuli. Mereka sedang mengamati siapa yang betul-betul berpihak dan siapa yang hanya bermain kata-kata,” tambahnya.
Razali tidak menolak bahwa pembangunan fisik berjalan di beberapa titik. Namun ia menggarisbawahi bahwa esensi dari otonomi bukan hanya jalan dan gedung, tetapi keadilan, partisipasi, dan keberpihakan. Ia berharap agar anggota DPR Aceh segera membuka mata dan hati.
“Saya tidak bicara untuk kepentingan pribadi. Ini suara banyak rakyat yang tidak bisa bicara langsung. Kalau wakil rakyat masih tidak peka, maka mereka sudah gagal mengemban amanah,” katanya.
Bagi Razali, jeritan hati ini bukan sekadar kritik, melainkan panggilan nurani agar para pemangku kekuasaan kembali kepada rakyat. Sebab damai bukan sekadar dokumen, melainkan tanggung jawab yang harus dijalankan dalam keadilan dan keberpihakan.
“Jangan tunggu rakyat turun ke jalan lagi untuk sekadar didengar,” pungkasnya.
Rasyidin