Kuningan,Kompas86.com
Praktik mencurigakan dalam pengelolaan pendidikan nonformal terendus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Ratusan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) diduga fiktif secara administratif. Dugaan ini mencuat akibat ketidaksesuaian antara data yang tercatat dalam sistem Dapodik dengan kondisi nyata di lapangan.
Berbagai indikasi muncul, mulai dari lokasi yang tidak ditemukan, tidak adanya kegiatan belajar mengajar, hingga tenaga pendidik yang tidak pernah hadir. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan manipulasi sistemik dalam pendataan dan pelaporan.
Saat ini, terdapat lebih dari 200 PKBM terdaftar di Kabupaten Kuningan. Namun, sebagian besar tidak memiliki kantor atau sarana belajar yang layak. Beberapa hanya menggunakan rumah kosong milik pribadi, sementara lainnya menumpang di fasilitas milik pemerintah desa atau instansi lain yang bukan merupakan aset sah lembaga penyelenggara.
Meski demikian, lembaga-lembaga ini tetap dinyatakan aktif di sistem Dapodik, lengkap dengan data siswa dan tenaga pengajar, serta menerima dana operasional dari pemerintah.
Dana Bantuan Operasional PKBM yang bersumber dari APBN dan APBD diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per lembaga per tahun. Jika dana tersebut mengalir ke lembaga-lembaga yang tidak menjalankan kegiatan pendidikan secara nyata, maka potensi kerugian negara dapat mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.
Situasi ini jelas bertentangan dengan Permendikbud Nomor 81 Tahun 2013 tentang Satuan Pendidikan Nonformal, yang mewajibkan PKBM untuk memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain:
-Memiliki lokasi tetap untuk kegiatan belajar,
-Izin operasional yang sah,
-Tenaga pendidik yang nyata dan aktif,
-Peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran,
-Program kegiatan yang berjalan sesuai kurikulum,
-Serta pelaporan data yang sesuai dengan fakta lapangan.
Sistem Dapodik sendiri menuntut akurasi dan verifikasi faktual sebagai dasar penyaluran bantuan. Pemalsuan atau manipulasi data untuk mendapatkan keuntungan keuangan merupakan pelanggaran berat, dan berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana korupsi, sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sayangnya, pengawasan oleh dinas terkait terindikasi lemah dan cenderung formalitas. Verifikasi ke lapangan jarang dilakukan, dan laporan-laporan yang masuk seringkali tidak melalui proses validasi yang memadai. Dalam banyak kasus, dokumen administrasi seperti laporan keuangan, daftar hadir, hingga dokumentasi kegiatan dibuat hanya untuk memenuhi syarat administratif semata.
Jika dugaan ini terbukti, maka bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk penyalahgunaan wewenang dan persekongkolan yang menggerogoti anggaran pendidikan. Dana yang seharusnya menyasar masyarakat putus sekolah dan kelompok rentan justru jatuh ke tangan lembaga tanpa aktivitas nyata.
Situasi ini mendesak untuk segera ditindaklanjuti oleh aparat pengawasan dan penegak hukum. Audit investigatif terhadap seluruh PKBM di Kabupaten Kuningan perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk mengungkap praktik manipulatif yang merugikan negara dan mencederai tujuan luhur pendidikan nasional.
(Red)