Cirebon, KOMPAS86.COM
28 April 2025 – Sejarah Cirebon yang penuh perjuangan, khususnya dalam mempertahankan kemerdekaan wilayahnya, menjadi sorotan kembali. Cirebon tercatat telah merdeka lebih awal pada 15 Agustus 1945, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Keberadaan Negara Kesultanan Cirebon sebagai entitas merdeka telah diakui oleh kerajaan-kerajaan nusantara, yang memberikan restu atas kemerdekaannya.
Namun, di balik sejarah yang gemilang tersebut, kini muncul konflik besar di dalam lingkungan Kesultanan Kasepuhan Cirebon terkait dengan siapa yang berhak menyandang gelar Sultan. Tiga pihak mengklaim dirinya sebagai Sultan, di antaranya adalah Lukman Zulkaedin dan Raharjo Jali yang menobatkan dirinya sendiri, serta Pangeran Heru Arianatareja (Pangeran Kuda Putih) yang didukung oleh masyarakat serta keluarga besar Kesultanan Cirebon.
Ketegangan ini semakin memuncak dengan adanya spanduk penolakan terhadap Lukman Zulkaedin yang terpasang di sekitar area makam Sunan Gunung Jati, tempat yang menjadi saksi sejarah bagi Kesultanan Cirebon. Publik semakin teredukasi mengenai konflik ini, karena spanduk penolakan tersebut menjadi perhatian utama bagi para penziarah yang datang untuk berziarah.
Menurut pandangan masyarakat Cirebon, seperti yang diungkapkan oleh Didi, awalnya mereka menganggap bahwa konflik ini adalah persoalan internal keluarga Keraton. Namun, seiring berjalannya waktu dan dengan informasi yang berkembang, mereka menyadari bahwa konflik ini melibatkan pertentangan antara keturunan asli Sunan Gunung Jati dan mereka yang tidak memiliki garis keturunan langsung.
“Menurut informasi yang kami terima, Raharjo Jali adalah keturunan Ki Muda (Hasanudin), abdi dalem yang mengkudeta Sultan Sepuh V Matangaji. Sementara itu, Lukman Zulkaedin dikabarkan merupakan keturunan dari Snouck Hurgronje, seorang ahli Belanda. Sedangkan Pangeran Kuda Putih ini, yang dikenal sebagai Pangeran Heru Arianatareja, memang memiliki garis keturunan asli dari Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu Cirebon,” ujar Didi.
Dia juga menambahkan, peran Pangeran Kuda Putih yang lebih terlihat dalam membina hubungan dengan masyarakat Cirebon memperkuat keyakinan mereka. Pangeran Kuda Putih sering turun ke desa-desa, duduk bersama masyarakat, dan menunjukkan rasa kepedulian terhadap rakyatnya. Hal ini, menurut Didi, sangat berbeda dengan figur lain yang tidak tampak terlibat langsung dengan masyarakat.
Semoga dengan hadirnya peran pemerintah, khususnya Gubernur Jawa Barat Kang Dedy Mulyadi, yang dikabarkan memiliki hubungan keluarga dengan Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih, konflik ini dapat segera terselesaikan. Diharapkan, Kang Dedy dapat menjadi penengah yang adil dan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai demi menjaga keharmonisan Kesultanan Cirebon.
Rahayu Kang Dedy.
(Red)