KOMPAS86.com
Orang-orang yang pintar tidak akan tertarik dengan akun-akun gosip. Gosip itu hal yang tidak masuk akal, tidak logis untuk menghabiskan waktu dan energi untuk urusan yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Mereka tidak akan menuntut untuk didengarkan dalam obrolan grup. Mereka lebih memilih diam dan mendengarkan, tidak akan pernah memotong pembicaraan orang lain dan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendengarkan orang lain, Mereka tidak akan menjadi one upper, orang yang selalu menjadikan cerita dirinya lebih baik dibandingkan cerita orang lain
Mereka tidak pernah menganggap orang lain kecil karena posisi ataupun kelas sosial. Mereka tahu setiap orang memiliki pengetahuan tentang hal yang tidak mereka ketahui atau akan melengkapi pengetahuan mereka.
Seseorang kadang tidak menyadari kalau dirinya kurang cerdas alias bodoh, sehingga menyulitkan orang-orang di sekitarnya serta dirinya sendiri, Meski biasanya kelebihan dan kekurangan kecerdasan susah dideteksi, namun ada beberapa kebiasaan hidup sehari-hari yang bisa menandakan bahwa kita memang kurang cerdas.
Survei dari We Are Social juga menyebutkan bahwa orang Indonesia, rata-rata akan menghabiskan waktu selama 197 menit alias 3,2 jam per hari, media yang digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi satu sama lain. Melalui Komunitas jaringan virtual, orang-orang bisa mencipta, berbagi, bertukar informasi, gagasan dan karya.
Kehadiran perangkat multiguna itu bak pisau bermata dua. Ia bisa digunakan untuk tujuan mulia, mampu menumbuhkan banyak manfaat positif. Sebaliknya, ia juga bisa digunakan untuk hal-hal negatif. Ia bisa menjadi wahana efektif untuk menebar kebencian dan fitnah keji, hingga mampu membunuh karakter orang lain. Bahkan, ia juga bisa menjadi sarana melakukan aksi kejahatan atau menaklukkanya.
Pada Group WA yang anggota aktifnya homogen, konten pemikiran yang dituangkan ke dalam wadah itu juga akan berwajah tunggal. Konten narasi yang muncul dari satu entitas saja. Apalagi jika anggota lain yang sejatinya memiliki pemikiran kontra, memilih diam
Di dalam Group seperti ini, biasanya tidak akan ada dialektika pemikiran. Konten Group penuh dengan aneka propaganda yang berasal dari satu kelompok saja. Akibatnya, di dalam ruang itu tidak pernah ada perdebatan. Karena tidak ada kontra narasi dari anggota lain. Semua seolah setuju dan selesai pada menit itu juga. Group menjadi monoton dan kering.
Dalam satu Group WA bersama, setiap orang memiliki latar belakang dan alasan beragam untuk menyampaikan suara hatinya. Saya harus memutus harapan untuk menjadikan orang lain menjadi seperti yang saya inginkan. Mengirimkan konten yang selaras, segendang sepenarian. Apalagi hasrat untuk menyeragamkan perasaan. Itu pasti keliru
Banyak orang menganggap bahwa orang pintar adalah mereka yang sering membaca buku, mempunyai nilai akademik bagus, dan dapat mengerjakan ujian dengan cepat. Sedangkan, pada hakikatnya, kepintaran lebih merujuk kepada kemampuan belajar dengan cepat dan menggunakan informasi baru yang didapatkan dengan baik.
Orang pintar yang selalu merasa benar biasanya dimiliki oleh orang pintar yang egois dan tidak mau menerima pendapat. Ini disebabkan karena dia merasa paling benar dan dia menganggap kebenaran milik orang lain adalah hal yang salah. Maka dari itu, kita sebagai manusia yang tidak sempurna seimbangilah kepintaran kita dengan akhlak dan adab. Bukan hanya karena kita pintar lalu kita menganggap yang lainnya salah. Itu salah kaprah.
“Lebih baik menjadi orang benar, meski tidak pintar. Sebab membuat orang pintar menjadi benar membutuhkan kejernihan hati dan keluasan jiwa”
orang-orang pintar itu hanya bisa menuding dan mencari kesalahan orang lain. Tapi karena pintar, katanya mengkritisi atau berpikir analitis. Hebat memang orang pintar
Apalagi saat menyimak orang-orang pintar berceloteh di media sosial atau di grup-grup WA. Entah soal Sirkuit Mandalika, soal IKN, soal PPKM, dan sebagainya. Ada saja yang dikomentari atau diperdebatkan. Tapi ujungnya, hanya untuk menyalahkan orang lain. Bukan menyajikan solusi konkret. Lebih senang mencari “kambing hitam” atas masalah yang terjadi.
Kerjanya hanya berceloteh dan berkomentar tentang hal-hal yang tidak diinginkan orang lain. Atau sebaliknya, dia senangnya menolak apa yang orang lain katakan. Kadang, seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Banyak omong tapi aksinya kosong.
Percuma berpendidikan tinggi kalau tidak mau membantu dan menebar manfaat kepada orang lain. Percuma pula jadi orang pintar dan sukses bila gagal menjaga perasaan orang lain. Egois, subjektif, dan tidak punya kepedulian.
Karena memang zaman mainmaju, makin serba digital. Jadi orang-orang pintar makin banyak. Berceceran di mana-mana. Jangankan di kampus-kampus. Di medsos dan grup-grup WA pun banyak banget orang pintar. Cirinya sederhana, apa saja bisa dikomentarin. Sekalipun bukan bidangnya. Ujungnya, orang lain salah yang benar dia sendiri. Itulah orang pintar.
Pasti banyak orang-orang pintar. Atau setidaknya merasa pintar. Saat berkomentar, arugmen-nya mantap. Bahkan ditambah bumbu ilmiah sedikit. Tapi sayang, ujungnya menyalahkan keadaan atau orang lain. Lalu di situlah, si orang pintar memaksa pikirannya. Dan orang dianggapnya tidak pintar dipaksa menerima pendapatnya. Pandai berdebat, pandai pula menghujat. Agak sumir. Tapi orang pintar bolehlah dibilang logika sudah mencapai setengah tuhan.
Orang pintar berbeda dengan orang taman bacaan. Karena orang taman bacaan hanya tahu berbuat. Hanya mencari solusi dari masalah. Bukan mempermasalahkan masalah. Kata orang pintar, urusan baca buku dan akses bacaan itu urusan negara.
( Basa)
Bersambung….