Article : “Seminar Kedokteran: Kepentingan atau Kebutuhan???”

banner 468x60

Pekanbaru ( Riau ) KOMPAS86.com – 
Di antara berbagai profesi yg ada di dunia ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yg menganut doktrin longlife learning atau belajar seumur hidup. Mengapa? Karena selain ilmu dan profesi kedokteran selalu berkembang, juga karena ilmu dan profesi kedokteran erat kaitannya dgn pelayanan. Karena doktrin longlife learning inilah setiap dokter diwajibkan utk selalu meng-update keilmuannya agar tdk ketinggalan jaman dalam melayani pasien dan utk satu tujuan utama, yaitu memberikan yg terbaik bagi pasien agar pasien tdk tersakiti (atau bahasa bioetiknya adalah prinsip Primum Non Nocere).

Kalau di Indonesia, tanggung jawab pengawasan longlife learning para dokter ini ada di bawah naungan organisasi profesi, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui programnya yg dikenal dgn istilah P2KB (Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) atau Continuing Professional Development (CPD). Melalui program ini diharapkan dokter2 di Indonesia dapat selalu meng-upgrade dirinya agar tetap sesuai keilmuannya dgn perkembangan jaman.

Program P2KB ini sendiri terdiri dari beragam komponen mulai dari ranah pembelajaran (dapat diperoleh melalui seminar, workshop, lokakarya, dsb), ranah profesionalisme (dapat diperoleh dari praktik profesi), ranah pengabdian masyarakat & profesi (dapat diperoleh dari kegiatan bakti sosial, organisasi, dsb), ranah publikasi ilmiah & populer (dapat diperoleh dari penerbitan jurnal, dll), dan ranah pengembangan ilmu & pendidikan (dapat diperoleh dari proses pengajaran, dll). Artinya adalah banyak ranah yg harus dilakukan oleh seorang dokter dalam meningkatkan kompetensinya dan tidak melulu hanya melalui proses seminar saja. Melalui berbagai ranah dari program P2KB ini, para dokter dapat memperoleh nilai Sistem Kredit Profesi (SKP) yg nantinya dikumpulkan utk memperoleh sertifikat kompetensi (serkom) sebagai bekal dalam melakukan proses perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) maupun Surat Ijin Praktik (SIP).

Sebelumnya kita mendengar keluhan dari sebagian dokter bahwa utk memperpanjang STR maupun SIP membutuhkan biaya yg tdk sedikit sehingga Kementerian Kesehatan dan stakeholder (dalam hal ini termasuk DPR) mencoba beraksi menjadi pahlawan dgn merumuskan draf Rancangan Undang2 Kesehatan (RUUK), yg mana di dalamnya dinyatakan bahwa pengurusan STR 1x seumur hidup namun pengurusan SIP tetap berlaku 5 tahun sekali plus menghilangkan peran rekomendasi organisasi profesi dalam kepengurusan dokumen tersebut seakan-akan mahalnya biaya perpanjangan dokumen2 tadi disebabkan oleh IDI selaku organisasi profesi. Namun coba kita pahami lagi isi RUUK ini, dimana di dalamnya dikatakan bahwa pengurusan SIP tetap 5 tahun sekali dan diperlukan pengumpulan SKP utk memperpanjangnya. Maka pertanyaannya adalah, apa yg berubah dari segi biaya? Karena selama ini yg membuat biaya pengurusan jadi mahal bukannya dari pengumpulan SKP tersebut? Artinya sama saja dong hanya saja kalau sebelumnya IDI yg handle pengumpulan SKP sekarang dilimpahkan ke Kementerian Kesehatan, lalu apa itu jaminan biaya akan lebih murah dan akan bebas dari praktik kotor? Jangan lupa, lembaga yg paling korup adalah pemerintah. Apabila memang tujuannya utk meringankan, mengapa tdk sekalian saja di RUUK disampaikan tdk ada lagi yg namanya mekanisme pengumpulan SKP dan utk perpanjangan SIP sekalian saja berlaku rata ujian ulang atau prometric test layaknya di negara luar?

Kalau dikatakan seminar2 kedokteran praktiknya ada yg kotor hanya mengumpulkan uang utk memperoleh SKP memang kita tdk boleh menutup mata dan telinga karena memang benar adanya tapi itu hanya segelintir saja sebab masih jauh lebih banyak seminar kedokteran yg sifatnya gratisan. Itu kalau biaya yg dijadikan problem nya. Kalau yg dijadikan problem nya adalah KOMPETENSI tanpa pre atau posttest, lagi2 itu hanya segelintir karena sebagian besar seminar kedokteran menerapkan sistem posttest utk memperoleh sertifikatnya dan gratisan pula. Mau lihat buktinya? Buka saja aplikasi seperti Alomedika, Docquity, D2D, dan sejenisnya. Jadi, janganlah kita dibiasakan utk berpikir pars pro toto, yaitu sebagian dianggap mewakili keseluruhan karena itu sama saja dgn membodohi masyarakat.

Apabila merasa berat utk mengumpulkan SKP sebenarnya para dokter juga diperbolehkan kok utk mengikuti ujian kompetensi per 5 tahun sekali. Artinya di sini IDI selaku organisasi profesi dgn segala kekurangannya berperan utk menjaga marwah dan kompetensi profesi dokter di Indonesia dgn tujuan akhirnya apa, yaitu utk memberikan yg terbaik bagi para pasien.

Dengan dihilangkannya peran IDI sebagai organisasi profesi tunggal, maka dampak yg akan terjadi nantinya adalah bukan perang kualitas melainkan perang harga, apalagi amanat anggaran kesehatan di UUK ini sudah dihapus. Kalau itu yg terjadi, maka jangan kaget jika kualitas dan kompetensi dokter di Indonesia justru semakin turun dan yg akan merasakan akibatnya justru masyarakat, tapi yg tetap ongkang2 kaki ya para pemodal.

Jadi, buka mata dan buka telinga bahwa kita semua sedang diadu domba oleh mereka yg sedang pegang kuasa. By. Aditya Hafriah Vanani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan