Opinion : 6 Fakta Terkait Penolakan Gubernur Sumbar Yang Dilakukan Oleh Mahasiswa UIN SMDD

banner 468x60

KOMPAS86.com – Oleh : Febri Trifanda
Aktivis Mahasiswa UIN SMDD

Beberapa hari yang lalu ada sebuah peristiwa yang tengah ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan, khususnya dalam ruang lingkup keluarga besar UIN SMDD Bukittinggi. Persoalan tersebut berangkat dari sikap mahasiswa UIN SMDD yang menolak kedatangan Gubernur Sumbar di kampus tersebut. Sehingga hal itu banyak memicu riak dikalangan publik, khususnya di media sosial. Mulai dari kalangan yang tidak tau persoalan, yang hanya membaca atau mengetahui sekilas, sampai yang benar-benar tau persoalan turut meramaikan komentar dan penilaiannya terkait permasalahan tersebut.

Pro dan kontra tersebut tentunya adalah hal yang wajar dan biasa didalam iklim demokrasi. Akan tetapi, hal tersebut jangan sampai menimbulkan pembelahan atau dikotomi ditengah-tengah masyarakat. Karena masing-masing pihak, baik yang pro atau kontra pastinya punya alasan tertentu terhadap sikap yang mereka ambil. Namun, kita perlu jua meletakkan hal tersebut sesuai dengan konteksnya agar tidak melebar dan jauh dari keadaan yang sebenarnya. Dengan akses informasi yang cukup mudah didapatkan, tentunya akan banyak interpretasi yang akan muncul tanpa tau benar atau tidaknya informasi yang didapatkan. Oleh karena itu, kita perlu mendudukkan hal tersebut sesuai dengan proporsinya.

Pertama, diberbagai media banyak yang menggunakan diksi “mengusir”. Padahal sikap mahasiswa tersebut adalah “menolak” bukan “mengusir”. Namun, kebanyakan kita akhirnya terjebak pada diksi tersebut sehingga muncul pula label tidak beradab, berattitude, dan lain sebagainya. Sikap penolakan tersebut bukan tanpa sebab, ia memiliki akar historis tersendiri. Jika kita melihat peristiwa ini dengan kaca mata ahistoris tentu saja kita akan terlepas dari konteks yang sebenarnya. Sikap tersebut muncul dari peristiwa sebelumnya yaitu demonstrasi masyarakat air bangih di Padang yang meminta kehadiran Gubernur Sumbar namun tidak dipenuhi selama beberapa hari hingga berujung pada pemulangan. Logika yang digunakan oleh Presma UIN SMDD yaitu ketika diminta datang oleh masyarakat air bangih beliau tidak datang, namun dalam acara PBAK yang di undang oleh pihak kampus beliau bisa datang.

Terlepas dari pernah atau tidaknya beliau menghampiri atau memenuhi permintaan kehadiran dari masyarakat air bangih, yang jelas selama beberapa hari masyarakat air bangih di Padang permintaannya tidak kunjung dipenuhi oleh beliau. Sehingga wajar saja ketika kedatangan beliau ke Kampus UIN SMDD mendapatkan penolakan oleh Dema UIN SMDD dimana Dema UIN SMDD yang tergabung dalam organisasi BEM Sumatera Barat (SB) turut jua dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat air bangih di Kota Padang beberapa waktu lalu. Kedatangan Gubernur tersebut tentu saja melukai perjuangan mahasiswa yang mengawal masyarakat air bangih selama berhari-hari di Kota Padang. Reaksi penolakan tersebut menjadi hal yang wajar jika kita melihat sampai ke akar historis bagaimana reaksi itu muncul ditambah jua dengan banyaknya mahasiswa UIN yang berasal dari Pasaman Barat. Jadi gerakan tersebut murni atas inisiatif dan kesadaran otentik mahasiswa, bukan karena ada penunggangan dan kepentingan pihak lain.

Kedua, ada kalimat yang mengatakan “Gubernur Sumbar adalah tamu yang diundang, tapi kok malah di usir”. Ya sebagaimana yang kita katakan tadi, bahwa sikap mahasiswa UIN SMDD adalah “menolak” bukan “mengusir” dan yang mengundang tersebut tentunya adalah pihak kampus UIN, bukan dari kalangan Ormawa kampus. Dalam hal ini banyak publik yang menilai bahwa sikap yang diambil Dema UIN SMDD tidak tepat “masak gubernur diundang, tapi malah diusir”. Jika demikian diksinya tentu saja kita semua akan punya penilaian yang sama bahwa hal itu tidak tepat. Namun jika kita letakkan pada konteksnya bahwa sikap mahasiswa menolak bukan mengusir dan yang mengundang gubernur adalah pihak kampus bukan mahasiswa, tentu saja reaksi dari mahasiswa tersebut adalah hal-hal yang wajar saja.

Ketiga, ada statemen yang mengatakan bahwa cara yang dipakai oleh mahasiswa tersebut tidak beradab, tidak berattitude dan seterusnya. Ada beberapa hal yang mesti kita luruskan yaitu :

a. Bahwa yang dikritisi tersebut adalah posisi Bapak Mahyeldi sebagai Gubernur Sumatera Barat, bukan sebagai personal atau pribadi. Sehingga cara dan kreativitas bagaimanapun yang dilakukan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah adalah sesuatu hal yang wajar didalam sistem demokrasi dan hal itu difasilitasi oleh Undang-undang. Jika diletakkan pada konteks Pribadi Bapak Mahyeldi dengan usia dan titel Buya nya tentu saja semua orang akan menilai tindakan itu tidak beradab. Namun jika diletakkan pada posisinya sebagai pejabat publik maka hal tersebut sah-sah saja untuk dilakukan.

b. Bahwa cara yang digunakan oleh mahasiswa UIN tersebut adalah hal yang biasa didalam menyampaikan aspirasi. Agaknya, kita perlu mempelajari kembali bagaimana sejarah gerakan mahasiswa sampai pada bagaimana sebuah gerakan tersebut dapat terbentuk. Singkatnya setiap gerakan pasti memiliki ideologi yang mengiringinya, ada gerakan kiri dan kanan, ada gerakan newleft, anarko sindikalisme, anarko sosialisme, feminisme, nasionalisme atau patriotisme, Liberalisme, sosialisme, sosialisme utopis, modernisme, posmodernisme, gerakan berbasis religius dll sebagainya. Semua punya cara masing-masing untuk mencapai tujuannya. Ada yang sampai chaos, ada yang semi-chaos, sampai pada yang tidak chaos. Dalam dunia gerakan itu cara seperti apapun dianggap lumrah dan wajar selama ia tidak bertentangan atau melanggar aturan atau undang-undang. Jika dilabeli tidak beradab, tidak beretika dan seterusnya pertanyaannya siapa yang punya otoritas untuk mengatakan itu tidak beradab dan tidak beretika? Atau didalam standar etika, unsur manakah yang dilanggar di sana. Bukankah itu hanya subyektifitas kita semata?. Saya banyak melihat, kita yang melabeli tersebut hanya karena tidak terbiasa melihat iklim gerakan yang seperti itu, Padahal masih banyak yang lebih tajam lagi dari pada itu. Jika kita pelajari kembali sejarah gerakan dan bagaimana gerakan itu dilahirkan, pastinya kita akan melihat gerakan mahasiswa UIN SMDD tersebut adalah hal yang biasa dan lumrah.

Keempat, ada komentar yang mengatakan “itukan mahasiswa bukittinggi, kenapa malah seolah-olah mewakili masyarakat air bangih”. Dalam kaidah ilmu logika, hal ini termasuk sesat pikir jua. Kita coba bandingkan dengan hal yang lain, ketika ada bencana di suatu daerah hampir seluruh masyarakat dan mahasiswa memberikan bantuan dan solidaritas ke sana, mereka juga bukan berasal dari daerah tersebut. Jadi sistem zonasi terhadap mahasiswa tersebut tidak bisa dilekatkan. Mau bagaimanapun, mahasiswa adalah penyambung lidah dari masyarakat yang memiliki fungsi dan peranannya. Tidak ada regulasi yang berbicara bahwa kalau dia mahasiswa bukittinggi, jadi kita hanya boleh menyuarakan sesuatu yang ada di daerah Bukittinggi semata. Jadi jangan sampai sesat pikir tersebut diteruskan biasnya. Disisi lain, di UIN SMDD juga banyak mahasiswa/i yang berasal dari Pasaman Barat dan merasakan dampak dari Proyek Strategis Nasional tersebut. Jadi wajar-wajar saja ketika Dema UIN SMDD mengambil sikap demikian.

Kelima, diksi oknum yang dilekatkan pada gerakan mahasiswa tersebut adalah hal yang jua kurang tepat. Sebab istilah oknum biasanya dilekatkan pada orang atau anasir yang melakukan tindakan anomali diluar hal-hal yang bersifat normatif. Artinya tidak ada hal-hal normatif yang dilanggar. disamping itu, tidaklah mungkin sekelas Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN SMDD yang jua dimotori oleh Presiden Mahasiswa UIN SMDD dalam gerakan tersebut dianggap oknum. Sebab DEMA UIN SMDD adalah organisasi mahasiswa kampus dan merupakan representasi dari perwakilan mahasiswa UIN SMDD. Tentunya istilah oknum tidak dapat dilekatkan terhadap gerakan mahasiswa tersebut. Apalagi gerakan tersebut telah dikonsolidasikan melalui rapat Dema UIN SMDD

Keenam, ada kalimat yang mengungkapkan bahwa Presiden Mahasiswa UIN SMDD mengambil atau merampas mikrofon yang digunakan oleh Gubernur Sumbar. Ungkapan tersebut tidaklah benar, dari video yang beredar dan saksi yang melihat di lokasi langsung tidak ada upaya mengambil atau bahkan sampai merampas mikrofon yang digunakan oleh Gubernur Sumbar. Tentunya ungkapan seperti itu sangat provokatif jika disebarkan ke khalayak luas.

Untuk itu kita mesti lebih bijak lagi dalam melihat sebuah persoalan, terkhususnya menunggu literasi terlebih dahulu sebelum melabeli sesuatu. Termasuk penggiringan-penggiringan opini yang ada diberbagai media kita mesti lebih kritis lagi dalam menyerap informasinya agar tidak terjadi disinterpretasi. Kita harapkan media-media atau pers yang ada pun juga turut menggali dan menyebarkan berita secara obyektif, netral dan benar sehingga simpang siur informasi tersebut tidak menimbulkan kegaduhan ditengah-tengah masyarakat. Semoga saja dengan kehadiran media-media dengan independensi dan integritasnya dapat mengedukasi dan memberikan pencerahan terhadap publik. Apalagi sedang maraknya akun-akun bodong atau palsu yang turut meramaikan kolom komentar di media sosial, tentunya kita mesti mengambil sikap yang bijak. Dan yang tak kalah penting adalah kita mesti mengetahui kembali tugas, peran dan fungsi sebagai mahasiswa agar tidak ada lagi bias penafsiran yang dilakukan. Sekali lagi, Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.

Sekian terimakasih. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan