Jakarta, Humas MA_Jum’at 10 Oktober 2025
KOMPAS86.COM – Hukum perdata mengatur pelunasan perikatan utang piutang yakni tidak hanya dapat dilakukan pihak yang berutang, melainkan juga oleh pihak lain yang menjadi penanggung utang.
Hukum perdata mengatur pelunasan perikatan utang piutang yakni tidak hanya dapat dilakukan pihak yang berutang, melainkan juga oleh pihak lain yang menjadi penanggung utang.
Bahkan dapat dilakukan pembayaran utang oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, selama pihak ketiga melakukan perbuatan hukum melunasi pembayaran utang pihak yang berutang (vide Pasal 1382 KUHPerdata).
Sedangkan untuk perikatan, melakukan suatu perbuatan tertentu, tidak dapat serta merta dipenuhi oleh pihak ketiga, karena berlawanan dengan kehendak dari pihak yang memiliki piutang, bilamana berkeinginan perbuatan tersebut harus dilakukan oleh pihak yang berutang, sebagaimana ketentuan Pasal 1383 KUHPerdata.
Hal tersebut, dapat dicontohkan perikatan pembangunan gedung atau rumah, di mana pihak berpiutang berkeinginan yang melakukan aktivitas pembangunan adalah pihak berutang, dan belum tentu bersedia dilakukan oleh pihak ketiga.
Lebih lanjut, pihak yang berutang dalam melakukan pelunasan pembayaran utang tidak dapat memaksa pihak berpiutang untuk membayar secara mencicil atau sebagian demi sebagian, walaupun utangnya dapat dibagi-bagi, sesuai Pasal 1390 KUHPerdata.
Demikian juga, dalam hal utang piutang mengenai suatu benda, di mana pihak berpiutang tidak dapat dipaksa menerima barang lain, yang bukan objek perikatan utang sebagai bentuk pelunasan atau pembayaran utang, meskipun benda tersebut lebih mahal dibandingkan benda objek utang (vide Pasal 1389 KUHPerdata).
Seandainya dalam hal terdapat dua pihak yang saling memiliki utang, di mana secara keperdataan terjadilah perjumpaan utang (kompensasi) antara utang kedua pihak tersebut dan dihapuskan, sebagaimana ketentuan Pasal 1425 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1427 KUHPerdata, kompensasi utang hanya terjadi antara dua utang yang berpokok sejumlah uang atau barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan baik uang atau barang bisa ditetapkan serta ditagih seketika.
Terhadap kondisi di maksud, timbul pertanyaan apakah kompensasi utang wajib ditulis dalam perjanjian pokok utang piutang antar para pihak yang berutang sebelum terjadinya perjumpaan utang?
Guna menjawab persoalan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 50 K/Sip/1973 yang diucapkan persidangan terbuka untuk umum, tanggal 4 Juni 1973, oleh Majelis Hakim Agung RI Prof. R Subekti, S.H., (Ketua Majelis) dengan didampingi Busthanul Arifin, S.H. dan D.H. Lumbanradja, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).
Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 50 K/Sip/1973, menerangkan telah benar pertimbangan Pengadilan Tinggi, bahwa kompensasi atau perjumpaan utang tidak wajib secara tegas diatur, bahkan dapat terjadi demi hukum dengan tidak sepengetahuan orang-orang yang berutang.
Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, selaras dengan ketentuan Pasal 1426 KUHPerdata yang pada pokoknya menerangkan kompensasi dapat terjadi demi hukum dan tanpa sepengetahuan yang berutang, di mana kedua utang tersebut, yang satu menghapuskan yang lain dan begitupun sebaliknya atau bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama.
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, sebagaimana buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Seri II Hukum Perdata dan Acara Perdata.
Semoga artikel ini, dapat menambah referensi bagi para hakim dan akademisi hukum yang membacanya.
Penulis: Adji Prakoso
Jurnalis: Thomas