Payakumbuh, KOMPAS86.com – Dalam rangka meningkatkan sinergitas antar anggota Timpora (Tim Pengawasan Orang Asing), Kantor Imigrasi Agam menggelar rapat Timpora tingkat Payakumbuh pada hari jumat, 26 September 2025. Kegiatan ini digelar secara rutin diadakan di wilayah kerja Imigrasi Agam dengan diikuti oleh anggota Timpora yang terdiri dari instansi-instansi terkait seperti Kepolisian, TNI, Kejaksaan, Pemda, BNN, Lapas, dan lain-lain.
Budiman Hadiwasito, Kepala Kantor Imigrasi Agam menyampaikan bahwa “rapat ini bertujuan sebagai sarana/wadah berbagi informasi antara stakeholders terkait untuk melakukan pengawasan terhadap keberadaan WNA di wilayah kerjanya. Tentu ini dilakukan agar meminimalisasi potensi adanya kegiatan WNA yang dapat mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat”.
Budiman menambahkan bahwa peran masyarakat juga sangat penting dalam memberikan informasi kepada petugas jika mengetahui adanya kegiatan WNA yang dianggap mengganggu ketertiban/keamaanan di masyarakat.
Keberadaan Timpora ini sangat efektif dalam mengawasi keberadaan orang asing. Hal ini mengingat wilayah kerja Imigrasi Agam yang terdiri dari 8 Kabupaten/Kota. Peran serta instansi terkait di wilayah kerjanya masing-masing menjadi vital dalam mengawasi keberadaan orang asing sehingga sinergitas antar stakeholders ini harus ditingkatkan.
Budiman juga menyampaikan informasi mengenai berita yang viral di Payakumbuh tentang adanya surat dari anak seorang WNA inisial NA yang saat ini didetensi di Imigrasi Agam, “sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kakanwil Imigrasi Sumbar, Nurudin, setelah melakukan klarifikasi Ke Ombudsman Sumbar, bahwa ibu anak tersebut yaitu NA adalah murni orang asing. Berdasarkan dokumen yang ada, ayahnya NA ini berkewarganegaraan Malaysia sedangkan ibunya Singapura”. Tidak ada garis keturunan Indonesia baik dari ayah maupun ibunya sehingga NA ini adalah orang asing murni”.
Nurudin juga menjelaskan bahwa NA akan dipulangkan ke negaranya yaitu Malaysia, namun Imigrasi tetap mempertimbangkan aspek Hak Asasi Manusia dimana NA tidak akan dilakukan penangkalan sehingga NA dapat masuk kembali ke Indonesia untuk bertemu dan berkumpul kembali dengan anaknya tersebut. Tentu dengan prosedur yang benar yaitu menggunakan paspor Malaysia dan menggunakan visa.
Nurudin menyampaikan bahwa “NA memang telah tinggal puluhan tahun di Indonesia, namun hal tersebut tidak otomatis menjadikan dia sebagai Warga Negara Indonesia. NA tinggal tanpa izin resmi selama puluhan tahun, NA tidak pernah melapor ke kantor imigrasi, dan bahkan NA memiliki KTP yang bukan Haknya”.
Budiman menambahkan bahwa pada 2024, “NA ini sudah dideportasi ke negaranya Malaysia dengan menggunakan travel document dalam bentuk Surat Pengakuan Cemas yang dikeluarkan Kantor Perwakilan Malaysia yang berada di Indonesia. Dokumen kependudukan yang dimilikinya seperti KTP, telah kami serahkan kembali ke Disdukcapil Payakumbuh. Namun, ketika berada di Malaysia, NA kembali bermasalah karena mengaku sebagai WNI dengan memperlihatkan foto KTP yang ada di handphone-nya. Akibatnya NA memperoleh SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) dan dipulangkan ke Indonesia.
“Kasus ini tentu menjadi pelajaran untuk kita semua bagaimana kita harus menghormati dan menaati prosedur hukum keimigrasian di suatu negara. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi”. Tutup Budiman.
(Hms)