BITUNG | KOMPAS86.COM
Pernyataan Herry Mamonto, pengawas lapangan kapal LCT yang beroperasi di Dermaga Indo Hong Hai, dinilai sebagai bentuk pengalihan isu dari dugaan serius terkait pemuatan pasir yang belum jelas legalitasnya.
Dalam pemberitaan melalui media Radar24.co.id, Herry menuding wartawan memberitakan tanpa riset dan profesionalisme. Namun ironisnya, hingga kini, ia belum membuka selembar pun dokumen yang membuktikan bahwa aktivitas pengangkutan pasir itu benar-benar sah secara hukum.
“Wartawan dituding tidak profesional, padahal yang enggan membuka data justru pihak yang diberitakan. Di mana transparansinya?” ujar salah satu jurnalis senior Bitung yang ikut meliput kasus ini, Jumat (30/5/2025).
Sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 3, wartawan wajib melakukan uji informasi dan tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Namun dalam kasus ini, sumber yang diberitakan justru enggan memberikan data verifikatif.
“Kami sudah coba konfirmasi. Tapi tidak ada surat izin yang ditunjukkan. Bagaimana bisa kami diam?” tambah wartawan tersebut.
Herry menyebut pasir tersebut untuk pembangunan dermaga di Pulau Lembeh. Tapi hingga kini, publik tak pernah melihat Rencana Kerja, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), apalagi izin pemanfaatan material galian C dari dinas teknis seperti ESDM maupun DLH.
Penggiat kebebasan pers di Sulawesi Utara, R. Mandey, menyatakan bahwa tudingan Herry merupakan bentuk delegitimasi terhadap peran kontrol sosial jurnalis.
“Tiap kali ada dugaan pelanggaran, yang pertama diserang malah wartawan. Ini pola lama untuk membungkam kritik. Kalau tak salah, kenapa takut diperiksa?” ujarnya.
Mandey menegaskan, menurut Pasal 6 UU Pers No. 40/1999, pers memiliki fungsi mengontrol dan menginformasikan kepentingan publik. Oleh karena itu, memeriksa keabsahan pengangkutan material tambang bukan sekadar tugas, tapi juga kewajiban moral media untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Sorotan juga mengarah kepada keberadaan salah satu LSM yang disebut-sebut justru “membeking” aktivitas ilegal tersebut. LSM itu diketahui adalah salah satu pegawai Kesbangpol Bitung, yang seharusnya bersifat netral dan tidak memihak dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum.
“Kalau memang benar ada LSM yang bekerja sama dengan Kesbangpol, tapi justru melindungi kegiatan ilegal, ini harus segera diusut. Jangan-jangan, Kepala Kesbangpol juga terlibat secara tidak langsung,” ujar Lembata Mangundap, aktivis lingkungan yang sejak awal mengawasi aktivitas di Indo Hong Hai.
Bahkan, publik dibuat geram dengan pernyataan Herry Mamonto yang secara terbuka mengajak “fight” kepada wartawan. Sikap tersebut dinilai sebagai bentuk intimidasi dan upaya menekan kebebasan pers.
“Ini logika sesat. Ketika disorot, lalu menyuruh wartawan cari isu lain. Ini bukan pasar bebas narasi. Kalau memang legal, buka semua dokumen ke publik,” tegas Mangundap.
Redaksi beberapa media lokal kini meminta Dinas ESDM, Dinas Perhubungan, dan Dinas Lingkungan Hidup untuk turun ke lapangan dan melakukan audit menyeluruh atas kegiatan pemuatan pasir di Dermaga Indo Hong Hai.
“Kami juga butuh kejelasan hukum. Jika memang legal, publik akan tenang. Tapi kalau melanggar, jangan bungkam suara media hanya karena merasa terganggu,” ujar Pemimpin Redaksi salah satu media lokal.
Publik kini menanti keberanian aparat untuk bersikap netral dan transparan dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini. Apakah aparat akan menelusuri dugaan jaringan perlindungan di balik aktivitas pemuatan pasir ini? Ataukah kasus ini kembali akan dikubur di balik tudingan sepihak terhadap media?
TIM INVESTIGASI KOMPAS86