KEUNTUNGAN SOSIAL DAN KEBERLANJUTAN KONSERVASI DALAM PEMBANGUNAN WISATA DI BIMA, NTB

banner 468x60

Bima,NTB KOMPAS86.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi sorotan berbagai investor yang melirik potensi besar wilayah ini untuk pengembangan sektor wisata. Berbekal keindahan alam yang memukau, baik di daratan maupun bawah laut, Bima dinilai memiliki peluang besar menjadi destinasi wisata kelas dunia.

Salah satu contoh nyata adalah Gili Banta, yang telah terdaftar sebagai Taman Wisata Perairan (TWP). Kawasan ini menjadi rumah bagi 265 spesies ikan karang hidup dari 110 genus dan 37 famili ikan, menjadikannya surga bagi pecinta ekowisata dan penyelam. Potensi ini mencerminkan kekayaan hayati yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan maupun investor.

Namun, di balik potensi ini, muncul sejumlah tantangan dan pertanyaan. Salah satu isu utama adalah memastikan pembangunan wisata yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan dampak sosial jangka panjang.

Rencana investasi di kawasan seperti Sape, Lambu, dan Wera menuai pro dan kontra di masyarakat. Pemerintah daerah menghadapi tantangan besar untuk menjamin bahwa pembangunan wisata tidak merusak lingkungan dan tetap menghormati hak-hak masyarakat lokal. Salah satu solusi yang diusulkan adalah pembentukan badan khusus yang berisi ahli di bidang wisata dan konservasi untuk melakukan analisis kelayakan secara komprehensif.

Pemerintah juga diharapkan untuk menerapkan prinsip transparansi dalam setiap langkahnya. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan menjadi kunci penting untuk menciptakan sinergi antara pemerintah, investor, dan warga lokal.

Kasus Labuan Bajo dan pembangunan “Jurassic Park” menjadi pelajaran berharga. Konflik sosial yang muncul akibat kurangnya konsultasi publik dan lemahnya pengelolaan dampak lingkungan memberikan peringatan bagi daerah lain, termasuk Bima. Dokumen Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) harus menjadi acuan utama sebelum proyek besar dimulai. Dengan demikian, kawasan wisata tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga memastikan kelestarian lingkungan.

Pembangunan wisata harus melibatkan masyarakat lokal secara aktif, mulai dari pemberdayaan hingga pengelolaan kawasan wisata. Transparansi mengenai dampak lingkungan, efek jangka panjang, serta alokasi keuntungan ekonomi menjadi kunci keberhasilan proyek ini. Hal ini juga dapat mencegah munculnya konflik seperti yang pernah terjadi di daerah wisata lainnya.

Perubahan status Cagar Alam Tofo menjadi Taman Wisata Alam, serta rencana pembangunan wisata di Pulau Kelapa dan kawasan Pai Wera, menjadi sinyal positif bahwa Bima tengah bersiap untuk menjadi destinasi wisata unggulan. Namun, pemerintah, masyarakat, dan investor harus bersatu untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak mengorbankan lingkungan maupun hak-hak sosial.

Pembangunan wisata di Bima harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan, transparansi, dan partisipasi sosial. Potensi besar yang dimiliki daerah ini dapat menjadi sumber kemakmuran jika dikelola dengan bijak. Dengan belajar dari pengalaman daerah lain dan melibatkan semua pihak, Bima memiliki peluang besar untuk menjadi destinasi wisata berkelas dunia yang tidak hanya indah tetapi juga lestari.
Mari kita bersama-sama mengawal dan mendukung pembangunan wisata Bima demi masa depan yang lebih baik. Red

Pos terkait