Lombok Tengah, Kompas86.com – Pembangunan Puskesmas Batujangkih yang seharusnya menjadi simbol kemajuan pelayanan kesehatan di Lombok Tengah kini justru menyisakan cerita kelam. Proyek senilai Rp 5,9 miliar yang dipercayakan kepada CV. Rangga Makazza pada tahun 2021 ternyata berakhir dengan kegagalan tragis. Hingga batas akhir kontrak pada 28 Desember 2021, proyek tersebut tidak selesai, dan menjadi salah satu contoh nyata dari buruknya pengelolaan proyek infrastruktur publik.
Pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sempat memutus kontrak demi menyelamatkan uang rakyat akibat wanprestasi penyedia jasa. Namun, keputusan tersebut tidak mampu mencegah dampak yang lebih besar. Penurunan spesifikasi teknis menjadi isu utama yang mencederai kualitas konstruksi, hingga akhirnya mengancam keselamatan pengguna bangunan.
Hasil investigasi di lapangan mengungkapkan sejumlah penyimpangan serius. Pada kerangka plafon, misalnya, dokumen teknis mengharuskan penggunaan besi holo ukuran 4×4 mm dan 2×4 mm merek Indofon. Namun, yang terpasang justru besi holo ukuran 3×3 mm dan 2×3 mm dengan merek yang tidak sesuai. Penurunan spesifikasi ini telah diingatkan sejak awal, karena berpotensi besar menimbulkan risiko ambruknya plafon.
Masalah serupa juga ditemukan pada instalasi mekanikal dan elektrik (ME). Standar kabel NYY berukuran 4×3,5 mm yang diatur dalam dokumen tender, digantikan dengan kabel berukuran lebih kecil, bahkan separuh dari standar yang ditetapkan. Dengan daya listrik sebesar 66.000 VA, penggunaan kabel tidak sesuai spesifikasi ini berisiko menyebabkan kebakaran yang membahayakan jiwa.
Ironisnya, meskipun kontrak telah diputus pada akhir 2021, aktivitas konstruksi masih berlangsung hingga Januari 2022. Proyek ini kembali dilelang dengan anggaran Rp 1,9 miliar pada APBD Perubahan 2022, namun tidak menghapus jejak buruk dari pelaksanaan tahap awal. Laporan kasus ini telah masuk ke Polda NTB sejak Mei 2022, tetapi hingga kini, penyelesaiannya masih mengambang tanpa kepastian hukum.
Puncak dari drama ini terjadi pada Jumat malam, 10 Januari 2025, ketika plafon ruang Unit Gawat Darurat (UGD) Puskesmas Batujangkih ambruk. Pernyataan dari Kepala Dinas Kesehatan yang menyebut penyebabnya adalah “gibsum lembab” menjadi bahan cibiran. Faktanya, penurunan spesifikasi teknis yang diabaikan sejak awal menjadi akar masalah utama.
Kondisi plafon yang sering ambruk, hingga memaksa staf puskesmas menggunakan helm saat bekerja, menjadi gambaran tragis dari buruknya manajemen proyek ini. Enam kali plafon ambruk sejak 2021 adalah bukti nyata kegagalan yang tidak boleh diabaikan.
Hingga saat ini, kasus ini menjadi simbol dari lemahnya pengawasan dan lambannya proses hukum di Indonesia. Rakyat Lombok Tengah berhak mendapatkan keadilan atas penggunaan uang rakyat yang tidak tepat sasaran, sementara keselamatan pasien dan petugas kesehatan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Akankah sejarah kelam ini menjadi pelajaran,,? Atau justru akan terkubur dalam lembaran hitam birokrasi? Rakyat menanti kepastian hukum yang berpihak pada kebenaran.”Masih ada fakta mengejutkan lainnya. Nantikan di seri berikutnya,”(Oleh: Lalu Eko Mihardii)